Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian,hai ahlul bait,dan menyucikan kalian suci sesucinya. (Q.S. Al-azhab: 33)

Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku'.dan siapa mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah lagi Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri"(Q.S As-Syura:23)

"Sesungguhnya Aku telah tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian ; Kitab Allah dan Itrah, Ahlulbaytku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di Telaga Kausar kelak pada hari kiamat."(H.R. Sahih Muslim,jil7 hal.22;Mustadrak Hakim, Jilid 3,hal.109,147,533 dan kitab-kitab induk yang lain)

Thursday, November 29, 2012

Karamah Batu Tempat Kepala Imam Hussein as (yang terpenggal dan dirawat Para pendeta Nashrani) dengan penuh Cinta ...

Photo: Karamah Batu Tempat Kepala Imam Hussein as (yang terpenggal dan dirawat Para pendeta Nashrani) dengan penuh Cinta ...

MESJID AL-NUQTAH

LETAKNYA IALAH DI KOTA ALLEPPO ATAU HALAB SEKITAR 360KM DARI KOTA DAMASKUS.

Sejarah singkat berikut ini diambil dari sebuah buku yang ditulis oleh Sheikh Ibrahim Nasralla yang diberi judul “The Traces of Ale Mohammad in Aleppo” (Jejak-jejak Keturunan Muhammad di Aleppo).
Untuk mengenal sejarah dari tempat ini maka kita harus memalingkan wajah ke masa lalu terlebih dahulu. Tempat ini konon dulunya adalah sebuah biara yang terdiri dari 2 buah ruangan yang diberi-nama Mart Ruta Monastery, sebelum datangnya Islam ke kota ini.
Ketika rombongan Imam Ali Zainal Abiddin As-Sajjad (as) (putera Imam Husein) dan Zainab (as) (adik Imam Husein) disertai rombongan kecil berisi wanita dan anak-anak datang dari Kufah dan Karbala ke Syam, rombongan itu berhenti di kota Aleppo untuk beristirahat di dekat biara ini. Para biarawan dan pendeta dari biara ini melihat dengan jelas sekali ada cahaya yang terang yang keluar dari kepala Imam Husein (as) yang diarak oleh tentara Yazid yang mengawal rombongan dari keluarga Nabi itu. Kejadian itu terjadi pada tahun 61H.
Ketika para biarawan dan para pendeta dari biara itu tahu bahwa para tawanan yang dibawa itu ialah sisa-sisa keluarga Nabi (dimana banyak dari kaum lelakinya sudah syahid), maka mereka meminta para pengawal rombongan itu untuk memberikan mereka kesempatan untuk merawat kepala Imam Husein (as).
Untuk itu, para pendeta dari biara itu harus mengeluarkan uang yang sangat banyak.
Seorang pendeta yang memiliki pengetahuan luas mengambil kepala Imam Husein (as) dari para pengawal (tentara Yazid) dan kemudian meletakkan kepala Imam Husein (as) itu di atas sebuah batu untuk dicuci dan disisir rambutnya serta diberi minyak wangi.

    “Betapa besar penghargaan yang diberikan oleh seorang Nasrani untuk kepala suci dari cucu sang nabi”

    “Betapa kecil penghormatan yang diberikan oleh kaum Muslimin waktu itu, kepada sisa keluarga Nabi yang ditawan dan dibelenggu”

Pendeta itu berdo’a terus menerus di depan kepala Imam Husein (as) itu hingga shubuh menjelang pagi dan kemudian ia memberikan kembali kepala itu kepada para bala tentara Yazid. Pendeta itu sendiri konon katanya langsung memeluk Islam tidak lama setelah kejadian itu.
Sejak malam itu hingga beberapa hari kemudian darah segar senantiasa keluar dari batu itu dan setelah rombongan tawanan keluarga nabi itu pergi dari biara itu…………..kembali pendeta tersebut melantunkan do’a-do’a rintihan untuk mengenang cucu Nabi. Sementara itu…………………..batu itu tetap mengeluarkan darah segar.

Batu ini—yang warnanya akhirnya memerah karena darah yang pernah tercurahkan dari kepala “Pemimpin Para Syuhada”—tetap bersemayam di biara ini dari awal bulan Safar tahun 61H hingga tahun 333H ketika Raja Sifoddowie Hamdani (seorang pengikut Ahlul Bayt Nabi) memasuki kota Aleppo dan memutuskan untuk menjadikan kota Aleppo itu menjadi ibu kota. Raja itu seringkali menjenguk batu itu dan sampai detik itu masih pula mengeluarkan darah segar. Ia akhirnya memutuskan untuk membangun tempat itu untuk menghormati batu yang mengeluarkan darah itu sebagai tanda kebesaran Allah di muka bumi ini.
BATU ITU SAMPAI SEKARANGPUN MASIH MENGELUARKAN DARAH SEGAR……………SIMAKLAH VIDEO BERIKUT INI……………………

http://www.youtube.com/get_player

Pada pertengahan abad keempat Hijriah, bangunan indah yang ditujukan untuk menghormati batu itu berdirilah dan sejak saat itu tempat itu menjadi tempat ziarah bagi para pecinta cucu Nabi (Imam Husein as.). Tempat itu dikenal sekarang sebagai “Mesjid Al-Nuqtah” atau kurang lebih berarti “Mesjid tempat darah tercurah”.

Pada tahun 1333H  ketika para penguasa Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah) menguasai kawasan ini, mereka melarang orang-orang yang hendak berziarah ke tempat ini dan mereka malah menggunakan tempat ini untuk menyimpan amunisi dan senjata selama masa perang. Akhirnya pada suatu masa, Kekhalifahan Ottoman mengalami kemunduran dan lemah dalam segala bidang; pada saat itulah tentara sekutu bermaksud untuk menyerang kota Aleppo. Timbullah anarki di mana-mana pada waktu itu (tanggal 20 Muharram 1337H). Mesjid yang dipenuhi oleh amunisi senjata dan mesiu ini tiba-tiba meledak. Gedung yang indah ini hancur berkeping-keping dan kepingannya berserakan di mana-mana.
Keajaiban terjadi……………….batu berdarah itu tetap berada di tempatnya dan beberapa batu yang besar berkumpul di sekelilingnya seolah-olah ingin melindungi batu itu. Sungguh itu merupakan suatu tanda kebesaran Illahi. Kemudian beberapa orang ulama mengambil batu itu dan membawanya ke Mesjid Zakaria yang ada di kota itu.
Batu itu menunjukkan beberapa keganjilan. Batu itu seringkali bergerak-gerak sehingga membuat ketakutan para alim ulama dan santri-santrinya hingga akhirnya mereka berkeputusan untuk menempatkan batu itu di atas punggung seekor kuda dan kemudian membiarkan kuda itu membawanya kemana ia suka.
Kuda itu membawa batu suci itu ke tengah-tengah kota Aleppo menuju tempat dimana batu itu dulu ditempatkan yaitu di Mesjid Al-Nuqtah yang pada waktu itu dalam keadaan hancur berkeping-keping setelah meledak. Karena tempat itu rusak, maka kuda itu (seolah-olah memiliki kehendak sendiri) membawa batu itu ke tempat pemakaman bayi Imam Husein, Muhsin. Kemudian batu itu akhirnya disimpan di sisi makam Muhsin.
Tempat suci itu tetap dalam keadaan hancur selama masa-masa sulit setelah peperangan berlangsung hingga tahun 1379H. Pada tahun itu ada sebuah organisasi bernama Jafari Islamic Rebuilding Societyyang berencana untuk membangun kembali mesjid itu sesuai dengan bentuk aslinya dulu. Dan dengan rahmat dan kebesaran Allah serta keinginan kuat dari orang-orang yang bersedia menyumbangkan tenaga dan hartanya serta bantuan moril dan materil dari para ulama, maka mereka bisa membangun kembali tempat itu dengan mengikuti bentuknya yang lama. Anehnya mereka juga tetap bisa menggunakan  batu-batuan yang dulunya digunakan untuk membuat Mesjid bersejarah itu. Dengan batuan yang sama (yang dulu berserakan setelah ledakan) mereka berhasil membangun Mesjid itu seperti sedia kala, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini.

Allahumma Shali ‘Alaa Muhammad wa Aali Muhammad ...

MESJID AL-NUQTAH

LETAKNYA IALAH DI KOTA ALLEPPO ATAU HALAB SEKITAR 360KM DARI KOTA DAMASKUS.

Sejarah singkat berikut ini diambil dari sebuah buku yang ditulis oleh Sheikh Ibrahim Nasralla yang diberi judul “The Traces of Ale Mohammad in Aleppo” (Jejak-jejak Keturunan Muhammad di Aleppo).
Untuk mengenal sejarah dari tempat ini maka kita harus memalingkan wajah ke masa lalu terlebih dahulu. Tempat ini konon dulunya adalah sebuah biara yang terdiri dari 2 buah ruangan yang diberi-nama Mart Ruta Monastery, sebelum datangnya Islam ke kota ini.
Ketika rombongan Imam Ali Zainal Abiddin As-Sajjad (as) (putera Imam Husein) dan Zainab (as) (adik Imam Husein) disertai rombongan kecil berisi wanita dan anak-anak datang dari Kufah dan Karbala ke Syam, rombongan itu berhenti di kota Aleppo untuk beristirahat di dekat biara ini. Para biarawan dan pendeta dari biara ini melihat dengan jelas sekali ada cahaya yang terang yang keluar dari kepala Imam Husein (as) yang diarak oleh tentara Yazid yang mengawal rombongan dari keluarga Nabi itu. Kejadian itu terjadi pada tahun 61H.
Ketika para biarawan dan para pendeta dari biara itu tahu bahwa para tawanan yang dibawa itu ialah sisa-sisa keluarga Nabi (dimana banyak dari kaum lelakinya sudah syahid), maka mereka meminta para pengawal rombongan itu untuk memberikan mereka kesempatan untuk merawat kepala Imam Husein (as).
Untuk itu, para pendeta dari biara itu harus mengeluarkan uang yang sangat banyak.
Seorang pendeta yang memiliki pengetahuan luas mengambil kepala Imam Husein (as) dari para pengawal (tentara Yazid) dan kemudian meletakkan kepala Imam Husein (as) itu di atas sebuah batu untuk dicuci dan disisir rambutnya serta diberi minyak wangi.

“Betapa besar penghargaan yang diberikan oleh seorang Nasrani untuk kepala suci dari cucu sang nabi”

“Betapa kecil penghormatan yang diberikan oleh kaum Muslimin waktu itu, kepada sisa keluarga Nabi yang ditawan dan dibelenggu”

Pendeta itu berdo’a terus menerus di depan kepala Imam Husein (as) itu hingga shubuh menjelang pagi dan kemudian ia memberikan kembali kepala itu kepada para bala tentara Yazid. Pendeta itu sendiri konon katanya langsung memeluk Islam tidak lama setelah kejadian itu.
Sejak malam itu hingga beberapa hari kemudian darah segar senantiasa keluar dari batu itu dan setelah rombongan tawanan keluarga nabi itu pergi dari biara itu…………..kembali pendeta tersebut melantunkan do’a-do’a rintihan untuk mengenang cucu Nabi. Sementara itu…………………..batu itu tetap mengeluarkan darah segar.

Batu ini—yang warnanya akhirnya memerah karena darah yang pernah tercurahkan dari kepala “Pemimpin Para Syuhada”—tetap bersemayam di biara ini dari awal bulan Safar tahun 61H hingga tahun 333H ketika Raja Sifoddowie Hamdani (seorang pengikut Ahlul Bayt Nabi) memasuki kota Aleppo dan memutuskan untuk menjadikan kota Aleppo itu menjadi ibu kota. Raja itu seringkali menjenguk batu itu dan sampai detik itu masih pula mengeluarkan darah segar. Ia akhirnya memutuskan untuk membangun tempat itu untuk menghormati batu yang mengeluarkan darah itu sebagai tanda kebesaran Allah di muka bumi ini.
BATU ITU SAMPAI SEKARANGPUN MASIH MENGELUARKAN DARAH SEGAR……………SIMAKLAH VIDEO BERIKUT INI……………………

http://www.youtube.com/get_player

Pada pertengahan abad keempat Hijriah, bangunan indah yang ditujukan untuk menghormati batu itu berdirilah dan sejak saat itu tempat itu menjadi tempat ziarah bagi para pecinta cucu Nabi (Imam Husein as.). Tempat itu dikenal sekarang sebagai “Mesjid Al-Nuqtah” atau kurang lebih berarti “Mesjid tempat darah tercurah”.

Pada tahun 1333H ketika para penguasa Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah) menguasai kawasan ini, mereka melarang orang-orang yang hendak berziarah ke tempat ini dan mereka malah menggunakan tempat ini untuk menyimpan amunisi dan senjata selama masa perang. Akhirnya pada suatu masa, Kekhalifahan Ottoman mengalami kemunduran dan lemah dalam segala bidang; pada saat itulah tentara sekutu bermaksud untuk menyerang kota Aleppo. Timbullah anarki di mana-mana pada waktu itu (tanggal 20 Muharram 1337H). Mesjid yang dipenuhi oleh amunisi senjata dan mesiu ini tiba-tiba meledak. Gedung yang indah ini hancur berkeping-keping dan kepingannya berserakan di mana-mana.
Keajaiban terjadi……………….batu berdarah itu tetap berada di tempatnya dan beberapa batu yang besar berkumpul di sekelilingnya seolah-olah ingin melindungi batu itu. Sungguh itu merupakan suatu tanda kebesaran Illahi. Kemudian beberapa orang ulama mengambil batu itu dan membawanya ke Mesjid Zakaria yang ada di kota itu.
Batu itu menunjukkan beberapa keganjilan. Batu itu seringkali bergerak-gerak sehingga membuat ketakutan para alim ulama dan santri-santrinya hingga akhirnya mereka berkeputusan untuk menempatkan batu itu di atas punggung seekor kuda dan kemudian membiarkan kuda itu membawanya kemana ia suka.
Kuda itu membawa batu suci itu ke tengah-tengah kota Aleppo menuju tempat dimana batu itu dulu ditempatkan yaitu di Mesjid Al-Nuqtah yang pada waktu itu dalam keadaan hancur berkeping-keping setelah meledak. Karena tempat itu rusak, maka kuda itu (seolah-olah memiliki kehendak sendiri) membawa batu itu ke tempat pemakaman bayi Imam Husein, Muhsin. Kemudian batu itu akhirnya disimpan di sisi makam Muhsin.
Tempat suci itu tetap dalam keadaan hancur selama masa-masa sulit setelah peperangan berlangsung hingga tahun 1379H. Pada tahun itu ada sebuah organisasi bernama Jafari Islamic Rebuilding Societyyang berencana untuk membangun kembali mesjid itu sesuai dengan bentuk aslinya dulu. Dan dengan rahmat dan kebesaran Allah serta keinginan kuat dari orang-orang yang bersedia menyumbangkan tenaga dan hartanya serta bantuan moril dan materil dari para ulama, maka mereka bisa membangun kembali tempat itu dengan mengikuti bentuknya yang lama. Anehnya mereka juga tetap bisa menggunakan batu-batuan yang dulunya digunakan untuk membuat Mesjid bersejarah itu. Dengan batuan yang sama (yang dulu berserakan setelah ledakan) mereka berhasil membangun Mesjid itu seperti sedia kala, seperti yang bisa kita lihat sekarang ini.

Allahumma Shali ‘Alaa Muhammad wa Aali Muhammad ...

Kisah Hazrat Abul Fadhl Abbas


i
ni adalah sardab Hazrat Abul Fadhl Abbas di Karbala. Kuburan beliau dikelilingi air dan air ini tidak mengalir, tapi menurut orang yang pernah masuk ke dalam sana, ketika itu ia meminum seteguk air yang berada tepat di atas kuburan beliau dan ia merasakan air itu sangat jernih dan tawar. Padahal air yang ada di sana tidak bergerak, dan biasanya air yang tidak bergerak itu pasti berbau

KARBALA ON THE DAY OF THE TENTH (PART-I)



Imam Baqir says that on this day, the followers of Imam Husayn should offer condolences saying, "May Almighty God reward you on the massacre of Imam Husayn and make us all demanding his way with the Mahdi."

Imam Kadhim never smiled during these ten days.

At dawn on this day; the tenth of Muharram, Imam Husayn prayed the Fajr -Dawn- Prayer, then gave a sermon and said, "God has permitted us to fight on this day. We have to be brave and fight."
Then, he divided his small camp of eighty-two people, on horses and on foot. He made Zuhayr Ibn al-Qayn in charge of the right flank and Habib Ibn Muzahir in charge of the left flank, while he and his family faced the front, and 'Abbas carried the flag.

'Umar Ibn Sa'd came with 30,000 troops, divided by quarters, they surrounded the camp. When Shimr saw the fire in the trench, he yelled, "O, Husayn! You hurried to the fire before the Day of Judgment!"

The Imam did not recognize him, and asked, "Who is this? It might be Shimr Ibn dhil-Jawshan."

His followers told him that it was Shimr, and the Imam said, "You are the one who deserves the fire."

Ibn 'Awsajah wanted to shoot Shimr with an arrow, but the Imam stopped him and said, "I do not want to start the fight."

Then, the Imam raised his hand to the sky and said "O God, You are my trust in all difficulties, my hope in all distress, You make every weakness into strength, when there is no friend and when enemies are many. You are the Protector and the Only Hope."

Then, he asked for his horse, got on it, and yelled very loud so everyone could hear him, "O people! Listen to me. Do not hurry to fight until I tell you my situation. If you accept it and become just in your decision, it would be better for you. If you reject it and do not accept and do not want to be just, then do what you want, I do not want you to be in doubt, and God is the Protector."

When the women heard him, they started crying and yelling. The Imam asked his brother 'Abbas and his son 'Ali al-Sajjad to comfort them. Then, he said:
"Praises to God and the Messenger of God, and all His angels. O, people! Fear God and be afraid of this world. No one would live in this world forever. If there were someone who could live forever, the Prophets would deserve that more than anyone. But all of them died. Everything of this world goes in vain. Be fearful of God in order to be successful.

O people! God has created this world so that it may be destroyed. The deceived person is the one who is deceived by this world. You are gathered here for a matter, which is not right. If you do what you do, you will bring the anger of God upon you. You believed in God and the Messenger of God, then you try to kill the children of His Messenger.

O, people! Tell me who I am, then look at yourselves and see. Is it allowed for you to kill me and dishonor my family? Am I not the son of the daughter of your Prophet? Am I not the son of his cousin, the first believer in God? Is Hamzah, leader of the martyrs, not the uncle of my father? Is Ja'far al-Tayyar not my uncle? Have you not heard the saying of the Messenger of God, when he said to my brother and me, 'These two are the masters of the youth of heaven?' If you say it is, which is true, and I have not lied since I realized that God does not like the liars. If you say you have not heard, if you think I am a liar, then ask those who are among you who have heard it."

He named a few of them by name and said, "Is that not enough for you to stop you from killing me?"

The Imam's words affected the soldiers. Shimr noticed this and saw that the soldiers wanted to hear more of the truth, so he addressed his own people and said, "This man does not know what he is saying."

Habib Ibn Muzahir said, "Indeed, by God, he knows what he is saying and he is truthful."

The Imam said, "Are you in doubt about what I am saying that I am the son of the daughter of your Prophet? Indeed, by God, there is no one in the East or the West who is the son of the daughter of your Prophet but me. Alas, do you want to kill me because I have killed any of your people? Have I killed anyone from you? Have I confiscated any of your wealth or killed any of your people?"

The soldiers did not reply.

The Imam then named Shibth, Hajjaj, Qays, and Zayd Ibn Harith and said, "Did you not write to me saying: Come to our land, all of the land is green and all the people are waiting for you?"

They answered, "No. We did not."

The Imam said, "Indeed, by God, you did."

He turned to the rest of the troops and said, "O, people! If you do not like me, then let me leave to some other place."

Qays Ibn al-'Ash'ath said, "Why do you not obey the rule of your cousins (the Umayyads)' Indeed, they do not show you but what you wish for and they will not harm you."

The Imam replied, "You are their brother. Indeed, by God, I am not going to give my hand to you in humiliation and I am not going to submit to you like a slave. O people! I made my point clear to you and God is the Witness."

Then, a group of them advanced suddenly towards the Imam's camp. Ibn Hawzah said three times, "Who is Husayn"

The followers of the Imam said, "Here is Husayn. What do you want from him?"

Ibn Hawzah said, "You will go to hell, Husayn!''

The Imam said, "You are a liar. I will arrive to a Forgiving Lord. And who are you?"

They told him it was Ibn Hawzah. Then, the Imam raised his hand and said, "O God! Please send him to the fire."

Ibn Hawzah became very angry. Suddenly, as his horse charged, he fell and was trampled into pieces by his own horse. When this happened, some of the soldiers realized that they were fighting on the wrong side.

Next, Zuhayr Ibn al-Qayn went forward alone and gave a speech: "O people of Kufah! We are all from the same religion and the same city. We did not start the fighting and when the fight starts it will never end until death. I am calling you to help the grandson of the Prophet and abandon Yazid and his followers. You are not going to see anything good from Yazid and his followers. You have seen what he has done to good people such as Hijr Ibn 'Edi, Hani Ibn Urwah and others. O, people! The People of the House of the Prophet deserve loyalty more than anyone else. I warn you of killing the best of the people around you!"

Suddenly, Shimr shot him with an arrow and said, "Silence! You talk too much!"
Zuhayr answered, "I was not talking to you. You are an animal. You do not even know one word of the Holy Qur'an. You deserve humiliation on the Day of Judgment." Shimr said, "God is going to kill you and your friends within the hour."

Zuhayr responded, "Death for His cause is the best."

The Imam sent someone to bring Zuhayr back. Then, Burayr Ibn Khuthayr asked permission from the Imam to go next and warn the army of the evils of killing those who do not deserve it. He was a very old man. He went near the army and said, "O people! God has sent Muhammad as a warner and a bringer of good news and a caller to God. Here is the water of the Euphrates. Pigs and dogs drink from it but the People of the House of the Prophet are not allowed to?"

The troops answered, "Do not talk too much. Husayn has to die of thirst and he is not going to get any water."

Burayr replied, "The People of the House of the Prophet are here with you! What are you trying to do?"

They said, "We want to take them to the governor Ibn Ziyad and he will decide to do whatever he wants."

Burayr said, "If you forgot your letters and your promises, then let him go back wherever he wants."

Some of them said, "We do not know what you are talking about." When they tried to shoot arrows at him, he came back to Imam Husayn.
The Imam went out to them a second time, carrying a Qur'an, and said, "O, people! Between you and me are this Qur'an and the tradition of my grandfather."

He asked them again, "What do you want from me?"

They said, "We want you to obey Ibn Ziyad, the governor."

The Imam expressed his anger, and then answered, "Woe unto you! You asked us to come to help you and we came. When we came to you, you turned your swords against us. Now, you are calling us to go and obey those who are against the Holy Qur'an; those who change the truth; those who are instruments of Satan; those who are trying to extinguish the tradition of the Prophet.

Woe unto you! How could you turn against us and help them? Indeed, by God, this is betrayal and one of your old characteristics. You are the worst fruits. Indeed, the son of the bastard has given me two choices: fighting or humiliation. Humiliation is not possible for God and his Messengers nor would the believers allow that to happen, so I have no choice but to fight with this family, few in number, and with no helpers. But, you have to remember you will not remain honorable after this."

Then, the Imam turned his hands to heaven and said, "O God! Prevent the rain from these people and put them under the sovereignty of someone from Thaqif who would show them what kind of humiliation they have brought to us."

Then he said to 'Umar, "You think you are going to get the governorship of Ray. I tell you are not going to get that, but your head will be a foot ball for the children of Kufah."

When Hurr al-Riyahi heard the Imam's speech, he went to 'Umar Ibn Sa'd and asked, "Are you serious in fighting this man?"

'Umar answered, "Yes. I am going to fight until their heads and hands are cut off."

Hurr said "What is wrong with what he proposes to you?"

'Umar said, "If it was up to me, I would have accepted, but your governor refuses any compromise."

Then, Hurr left him alone and went back to his position in the army. Qurrah was next to Hurr. Hurr turned his face to Qurrah and asked him, "Did you water your horse today?"

He replied, "No."

Hurr asked him, "Would you like to water him today?" And left him. Qurrah thought that he was going to water his horse.

When Hurr came closer to the camp of the Imam, another soldier asked, "Are you trying to fight against Imam Husayn?"

Hurr kept silent. Muhajir said, "I am puzzled. I thought you were the bravest person of Kufah. Now I see you hesitating. What is this hesitation for?"

Hurr answered, "I see myself between heaven and hell. I have to choose one over the other. Indeed, by God, I am not going to choose anything but heaven, even if I am set on fire!" And he immediately rushed towards Imam Husayn. He reversed his spear and his shield and lowered his head riding towards the Imam. As he came closer, he slowed down and when he reached the Imam, he said, "O God! I repent to you for what I have brought: misery to the hearts of the children of your Prophet. O, Aba Abdullah (Imam Husayn)! I am repenting. Is it accepted?"

Imam Husayn said, "Indeed, God accepts repentance." Then, he said to the Imam, "When I left Kufah, I heard someone saying: Hurr, you are going to heaven. And I did not know what he meant. Now I know."

He joined the Imam with a Turkish slave, then asked the Imam's permission to go and talk to the army of 'Umar. The Imam agreed.

Hurr went and yelled to them and said, "O, people of Kufah! You have called the Imam invited him to join you, then why have you gathered against him from every place? Why do you prevent him from leaving in the land of God and prevent him from drinking the water of the Euphrates, which every nation; Jews, Christians, and Zoroastrians drink from? Even pigs and dogs drink from it freely, but you prevent the House of the Prophet from drinking the water?"

Then, the army shot at him with arrows and he came back to the camp of the Imam.

KARBALA ON THE DAY OF THE TENTH (PART-II)-

::::::THE FIRST ATTACK:::::

'Umar Ibn Said came forward, shot one arrow at the camp of the Imam, and said, "Bear witness with the governor that I was the first to shoot an arrow!"
The army began and their arrows fell like rain. The Imam said to his people, "Get up to death, which everyone has to taste. Indeed, these arrows are their messen
gers to us."

The Imam's followers fought all in one group, and they lost fifty men. When the Imam saw that so many of his followers were killed at once, individual people began to ask permission to go and fight. He was hesitating to allow them.

Then, from the enemy's side, Yesir and Salim came forward and asked who wanted to fight them. Habib and Burayr wanted to go and fight, but the Imam did not allow them (they were old). 'Abdullah Kalbi, one of the children of Ulaym, was brave and experienced in war, but he was young. He asked permission and the Imam allowed him to go. When he went forward, Ibn Ziyad's camp asked who he was, and he told them who he was.

They answered, "We do not want you. We want Zuhayr or Habib or Burayr. You are not equal to us!"

Without returning to tell the Imam, he screamed curses at them and attacked. He hit Yesir with his sword, and then Salim came and swung at him. 'Abdullah used his left hand to block Salim 's sword, and all of his fingers were cut off. But that did not stop him. 'Abdullah went after Salim , killed him, and then chased after Yesir and killed him as well.

Then he went back to the Imam. On his way back he met his wife, Umm Wahab, carrying a tent pole. She was encouraging him to fight on. He wanted to take her back to the tents with the other women, but she refused and said, "I want to join the fight with this pole."
The Imam intervened. He asked her to come back and said, "Women should not fight."

Sayf Ibn Harith and Malik Ibn 'Abd al-Jabiri came to the Imam crying. The Imam asked, "Why are you crying?"

They said, "We are crying for you, Imam, that you are going to be alone, and we cannot help you."

They went and fought until they were killed. Then 'Abdullah and 'Abdul Rahman, sons of 'Urwah, came and fought until they were killed. Then 'Amr Ibn Khalid al-Saydawi and Sa'd and Janir Salmani and Majma Aidhi came and all at once went against the enemy. One of them called for help from the Imam. 'Abbas immediately went to rescue them, but before 'Abbas could reach them, the enemy surrounded them and killed then.

When the Imam saw that most of his people were killed, he took hold of his beard and said to the army, "God's wrath was on the Jews because they claimed a child for Him, His wrath was on the Christians because they made Him a third of three, His wrath was on Zoroastrians because they worshipped the sun, and His wrath will be on those who united to kill the grandson of the Messenger of God.

By God, I will not agree to anything they want until I reach God by my blood!

Is there anyone to help us? Is there anyone to help the family of the Prophet?"

Then, Sa'd Ibn Harith and his brother who were among 'Umar's army immediately turned against the army and began slashing them with their swords, killing many of them.

::::THE RIGHT FLANK

The followers of the Imam were few, but individually, people fought zealously, inflicting heavy casualties on the army.

Then, the army chief yelled to his people, saying, "Do you know whom you are fighting? You are fighting those who want to die. No one can go to fight with them unless he himself also wants to die. We have to catapult large rocks on them and kill them with the catapults."

'Umar Ibn Sa'd said, "That is the right decision. I agree, we should not send anyone else to fight with them. If you go and fight with them one by one, they are going to kill you all."

Ibn al-Hajjaj tried to attack the right flank of Imam Husayn's camp. They attacked on horseback, but the Imam's people were on foot. They held their spears forward and did not let the horses of the attackers come closer. When the troops started to retreat, the Imam's army began to shoot the soldiers with arrows.

Hajjaj tried to rally his troops saying, "Go back and fight against those atheists who left the religion."

The Imam answered, "Are we those who left the religion, or are you? Soon we will see who enters the fire first."

Ibn Hajjaj then went around and, with several men, attacked the Imam's camp from the side of the river. Muslim Ibn 'Awsajah fought against three of them. He was wounded badly but he was able to return to the camp.

The Imam said, "God bless you, Muslim. We are all going to die." And he quoted: "Some of them have fulfilled [their covenant], and others are waiting [to do so], and have not made any changes [in the religion]." [Sura of al-Ahzab 33:23.]

Habib Ibn Muzahir came and said to Muslim, "How difficult it is to see you dying. Soon, you will be entering heaven." Habib continued, "I wish I could carry your will, but I know I will be next to join you."

Muslim said, "I have only one last wish, that you help Imam Husayn as much as you can."

Habib replied, "Indeed, by God, I will do so." When the women cried and wailed 'Wa Muslimah,' the enemies realized that Muslim must have died in the camp.

When Shibth Ibn Rab'i realized that Muslim was dead and the enemy was happy, he said to the troops, "Do you know that you have lost the most honorable Muslim whom I know, at the battle of Azerbaijan, was still fighting even after all of the horses were tired?"

::::THE LEFT FLANK

Shimr was in charge of the attack on the left flank of the Imam's camp, but the Imam and his followers were well prepared. Shimr and his group attacked suddenly, without any success.

'Abdullah Ibn 'Umayr al-Kalbi went forward and killed nineteen horsemen and twelve footmen. Then, his right hand was cut off, then his leg, and he was taken prisoner. They took him back to the enemy camp, killed him, and then dumped his body back on the battlefield. His wife, Umm Wahab, went to him, cleaning the blood off of his face, and saying, "Heaven is for you. May God join us together in heaven."

Shimr sent his slave, Rustam, with a heavy club to beat her on her head, and she died instantly. She was the first woman killed among the Imam's camp at Karbala'.

They cut off his head and threw it to the Imam's camp. His mother took the head, recognized it, then took a tent pole and marched towards the enemy to fight. The Imam stopped her and said, "War is not allowed for women."

She replied, "Do not cut off my only hope."

The Imam said, "God will never cut off your hope."

Shimr came closer and closer. Suddenly, he and his men attacked the tents of the Imam's camp, and used flaming spears to set the tents on fire. The women screamed. Shibth Ibn Rab'i stopped Shimr from throwing any more spears. From the Imam's camp, Zuhayr Ibn al-Qayn and ten of his people attacked Shimr and his troops, and fought them away.

Azra who was in charge asked for help from 'Umar Ibn Sa'd. 'Umar asked Shibth to go, but he refused. Then 'Umar sent Hosayn Ibn Numayr with five hundred archers. The Imam's camp fought against them and cut off the legs of their horses.
'Umar ordered to attack from all sides because they were not succeeding by attacking from one side.

Each of the Imam's fighters was separated and surrounded by a large group of the enemy. 'Umar ordered all the tents to be set on fire. Women were crying and upset, children did not know what to do.

The Imam said, "Let them set the tents on fire. Get out of the tents and use the fire to protect you from them." When Abu Sha'th al-Kindi saw the horrible situation, he decided to leave 'Umar Ibn Sa'd's army. He came to the Imam and said, "I am at your service. Tell me what to do."

He shot one hundred arrows against 'Umar's army. When all of his arrows were finished, he came back and said, "I killed only five. I have to kill more." He went back and killed nine more men before he was killed.

KARBALA ON THE DAY OF THE TENTH-(PART III)

::At Noon::
When Abu Thumamah al-Sa'di looked up at the hot sun, he realized it was noon, and said to the Imam, "O Imam! I think these people are not going to leave you alone, and I want to die for you before they reach you. But this is the time for prayer."

The Imam raised his head to the sky and said, "You remembered the prayer, and may God keep you among the people who pray. Yes, this is the time for prayer. Ask them if they will give us some time so we can pray."

The chief of the army replied, "Your prayer will not be accepted by God."

Habib Ibn Muzahir became angry and said, "The prayer of the People of the House of the Prophet will not be accepted, but yours will?" And he attacked. Habib swung, but missed. He hit the chief's horse instead and the chief fell. His people came and rescued him. Habib kept fighting and killed sixty-two soldiers before they wounded him with a spear. He fell down and his head was cut off. When the Imam saw this, he said, "To God, I will take the case."

After Habib, Hurr al-Riyahi went to fight. He went with Zuhayr and they made an agreement that if the enemy captured one of them, the other would help him. In the fight, Hurr's horse was wounded badly, so he left the horse and fought on foot, until he killed forty-one soldiers, then, he was surrounded by the enemy and killed.

The followers of Imam Husayn went and brought his body. Everyone who was killed was brought to the tent of the Imam and the Imam looked at them and asked for the mercy of God, saying, "A fight just like the fight of the Prophet and the children of the Prophet."

He looked at Hurr, cleaned the blood from his face and said, "You are Hurr (free) as your mother named you. You are free in this world and the hereafter."
THE PRAYER

The Imam prayed with the rest of his followers. They prayed Salat al-Khawf (Prayer of Fear), a two-unit prayer for wartime. Two of his followers, Zuhayr and Sa'id, were in front of the Imam protecting him.
The Imam's followers rotated, half prayed while the other half fought and then they exchanged places.

The enemy shot arrows and Sa'id fell while saying, "O, God! Curse them. Curse those who do not help the descendants of Your Prophet."

Then he turned his face to the Imam and said, "O, Imam! You are my leader."

As he died, the Imam said to him, "You will be in heaven before us."

When the Imam's companions counted, they found thirteen arrows on his body. Then, the Imam said to his remaining followers, "O, honored people! This is heaven. The doors of heaven are open and the Messenger of God and other martyrs are waiting for us. Protect the religion of God and the religion of his Prophet, and protect the women of the House of the Prophet."

They replied, "Our souls are for your souls and our blood is for your blood. By God, as long as we are alive, no one can hurt your family!"

At this point, 'Umar Ibn Sa'd ordered archers to shoot arrows on the Imam's camp and swordsmen to cut the legs of their horses. After this, the Imam had no horsemen left except Dhahak who said, "When I saw all of our horses' legs being cut, I took my horse and hid it in the tent."

People were fighting and everyone who left to go fight first came to the Imam and said, "Peace be upon you, O, grandson of the Messenger of God!"

The Imam always answered, "And may upon you be peace, and we are right behind you," then recited, "Some of then have fulfilled [their covenant], and others are waiting [to do so], and have not made any changes [in the religion]." [Sura of al-Ahzab 33: 23]

Abu Thumamah al-Sa'idi went and fought until he was killed. Then, Sulayman Ibn Mazarib al-Bajali went, fought, and was killed. Then, Zuhayr Ibn al-Qayn asked permission and the Imam said, "We are going to follow behind you." He went and killed one hundred and twenty of the enemy before he was killed.

'Amr Ibn Qardha al-Ansari was protecting the Imam with his own body and he fell and died from all the arrows. He had a brother on the enemy side. His brother called to the Imam from far away and said, "O, Husayn O, liar! You deceived my brother until you killed him!"

The Imam said, "I did not kill your brother. God has given him guidance."

The brother said, "I am going to attack you and kill you!"

He rushed towards the Imam but Nafi' Ibn Hilal al-Bujali fought with him and killed him, then killed twelve others with his arrows (his name was on each arrow.) When all of his arrows finished, he went barefoot, fighting with his sword but they catapulted rocks on him until he could not fight any more. When they took him to 'Umar Ibn Sa'd, 'Umar asked him, as he was bleeding to death, "Why did you do this to yourself?"

Nafi' answered, "By God, I have killed twelve of you and wounded others, and I do not apologize for anything, and as long as I an alive, I will not leave any of you alive."

Shimr killed him with his sword.

When Wadih, a Turk in Imam's camp, was fighting, he suddenly called for help, and the Imam immediately went to help him. By the time the Imam reached him and put his face on his face, he died.

THE REMAINING COMPANIONS

Yazid Ibn Ma'qil, from the army, called Burayr and said, "O, Burayr! How do you find what God did to you?"

Burayr said, "God chose what is best for me and what is worst for you. You do not remember when you were criticizing Mu'awiyah and called him astray?"

Burayr then asked him to ask for divine intervention before they fight so that God kills whoever of them is evil. Ibn Ma'qil agreed, they fought, and Burayr killed him. On his way back, another group of soldiers attacked Burayr and killed him.

Handalah Ibn Sa'id al-Shabbami called the Imam aside and said to him, "These people deserve the punishment of God when they refuse your call and after killing all of your friends and followers. Do not prevent me from fighting." He went and fought until he was killed.

'Abis Ibn Shabib al-Shakiri came and said to the Imam, "There is no one dearer to me on this earth than you. If I were able to help you by anything better than my soul, I would. May peace be upon you. I bear witness that, indeed, you are on the path of guidance." He took his sword, went to the enemy, and said, "Who wants to fight?"

They recognized him but did not answer. They loaded the catapults with boulders. When he saw that, he took off his armor and his helmet and attacked them with his sword. More than two hundred of them ran away. Then they regrouped, surrounded him from all sides, and killed him.

After that, John, the only African in Imam Husayn's camp, asked permission from the Imam to go. The Imam answered him, "O, John! You did not join this caravan for this battle."

John collapsed at the feet of the Imam and said, "I was following you when things were easy, and I am not going to leave you in this difficult time. I know that I may not have an excellent genealogy, but I have my black skin. Let me enter heaven for your honor. Indeed, I am not going to leave you until my black blood is mixed with your blood!" The Imam allowed him to go and fight, and he killed three hundred and twenty four soldiers before he was killed. The Imam prayed for him.

Then, Anas Ibn Harith Ibn Nabih al-Khalili asked for permission. He was in old man, a companion of the Prophet, and fought with him at the battles of Badr and Hunayn. He went and he killed eighteen soldiers before being killed.

Next, 'Amr Ibn Junadah al-Ansari who was eleven years old asked the Imam's permission. The Imam turned and said, "This is the one whose father was killed in the first attack. Maybe his mother does not want him to fight."
'Amr said, "My mother ordered me to do so and that is why I am asking your permission."

The Imam allowed him to fight. When he was killed, his head was cut off and thrown to the Imam's camp. His mother picked up his head, then took a tent pole and killed two soldiers, but the Imam went to her and took her back.

Then, Hajjaj Ibn Masruq al-Ju'fi fought until he was killed. Then, Sawwar Ibn Abi Hamr al-Fahmi fought, until he was captured as a prisoner. 'Umar wanted to kill him, but his tribe prevented him. He lived through the massacre at Karbala', but died after six months.

The last one, Suwayd Ibn 'Amr Ibn Abi al-Muta went and, during the fighting, fell down on his face. Everyone thought that he was dead, but suddenly when he heard that Imam Husayn was killed, he got up, took out a small dagger from his waist, and started fighting with it. They surrounded him and killed him. He was the last of Imam Husayn's companions to be killed.

Asyura 2012

Asyura 2012

BismillahirRahmannirRahim



Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَ الْمَلاَئِكَةُ وَ أُولُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيمُ، إِنَّ

Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Ia, (begitu juga) para malaikat dan orang-orang yang berilmu, sedangkan Ia selalu berlaku adil (terhadap semua makhluk). Tiada Tuhan selain Ia Yang Maha Mulia dan Bijaksana. Sesungguhnya

الدِّيْنَ عِنْدَ اللَّهِ اْلإِسْلاَمُ، وَ أَنَا الْعَبْدُ الضَّعِيْفُ الْمُذْنِبُ الْعَاصِي الْمُحْتَاجُ الْحَقِيْرُ، أَشْهَدُ لِمُنْعِمِيْ وَ

agama di sisi Allah hanyalah Islam (penyerahan diri), dan aku adalah seorang hamba yang lemah, berlumuran dosa, penuh maksiat, membutuhkan, (dan) hina. Aku bersaksi atas (keesaan) Pemberi nikmatku, Penciptaku, Pemberi rezekiku,

خَالِقِيْ وَ رَازِقِيْ وَ مُكْرِمِيْ كَمَا شَهِدَ لِذَاتِهِ وَ شَهِدَتْ لَهُ الْمَلاَئِكَةُ وَ أُولُوا الْعِلْمِ مِنْ عِبَادِهِ بِأَنَّهُ لاَ إِلَهَ

dan Dzat yang selalu memuliakanku sebagaimana Ia bersaksi untuk diri-Nya, dan para malaikat serta orang-orang yang berilmu dari hamba-hamba-Nya juga bersaksi bahwa tiada Tuhan

إِلاَّ هُوَ ذُو النِّعَمِ وَ اْلإِحْسَانِ وَ الْكَرَمِ وَ اْلإِمْتِنَانِ، قَادِرٌ أَزَلِيٌّ عَالِمٌ أَبَدِيٌّ حَيٌّ أَحَدِيٌّ مَوْجُوْدٌ سَرْمَدِيٌّ

selain Ia, Pemiliki kenikmatan dan kebajikan, serta kedermawanan dan anugrah. Ia Maha Kuasa, Azali, Maha Mengetahui, Abadi, Maha Hidup, Maha Tunggal, Maha Ada, Maha Kekal,

سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ مُرِيْدٌ كَارِهٌ مُدْرِكٌ صَمَدِيٌّ يَسْتَحِقُّ هَذِهِ الصِّفَاتِ، وَ هُوَ عَلَى مَا هُوَ عَلَيْهِ فِيْ عِزِّ

Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkehendak, Maha Membenci (keburukan), Maha Menggapai, dan Maha Kaya. Ia berhak untuk menyandang semua sifat itu, dan Ia—dengan semua sifat yang dimilikinya yang tak terpisah dari Dzat-Nya itu—

صِفَاتِهِ، كَانَ قَوِيًّا قَبْلَ وُجُوْدِ الْقُدْرَةِ وَ الْقُوَّةِ، وَ كَانَ عَلِيْمًا قَبْلَ إِيجَادِ الْعِلْمِ وَ الْعِلَّةِ، لَمْ يَزَلْ سُلْطَانًا

Maha Kuat sebelum adanya kemampuan dan kekuatan, Maha Mengetahui sebelum menciptakan ilmu dan (semua) sebab, selalu menjadi Raja Diraja

إِذْ لاَ مَمْلَكَةَ وَ لاَ مَالَ، وَ لَمْ يَزَلْ سُبْحَانًا عَلَى جَمِيْعِ اْلأَحْوَالِ، وُجُودُهُ قَبْلَ الْقَبْلِ فِيْ أَزَلِ اْلآزَالِ، وَ

meskipun belum terwujud kerajaan dan harta, dan senantiasa Maha Suci dalam semua kondisi. Wujud-Nya (telah ada) sebelum segala sesuatu terwujud di alam azali dan

بَقَاؤُهُ بَعْدَ الْبَعْدِ مِنْ غَيْرِ انْتِقَالٍ وَ لاَ زَوَالٍ، غَنِيٌّ فِي اْلأَوَّلِ وَ اْلآخِرِ، مُسْتَغْنٍ فِي الْبَاطِنِ وَ الظَّاهِرِ،

kekekalan-Nya (akan terus berlanjut) setelah semua sirna tanpa perubahan sedikit pun, Ia Maha Kaya sejak awal hingga akhir (ciptaan), Tak Membutuhkan di batin dan lahir-Nya,

لاَ جَوْرَ فِي قَضِيَّتِهِ وَ لاَ مَيْلَ فِي مَشِيَّتِهِ، وَ لاَ ظُلْمَ فِيْ تَقْدِيْرِهِ وَ لاَ مَهْرَبَ مِنْ حُكُومَتِهِ، وَ لاَ مَلْجَأَ

tiada kezaliman dalam ketentuan-Nya, tiada kecondongan (terhadap sesuatu) dalam kehendak-Nya, tiada kezaliman dalam taqdir-Nya, tiada tempat pelarian dari kekuasaan-Nya, tiada tempat berlindung

مِنْ سَطَوَاتِهِ وَ لاَ مَنْجَى مِنْ نَقِمَاتِهِ، سَبَقَتْ رَحْمَتُهُ غَضَبَهُ وَ لاَ يَفُوْتُهُ أَحَدٌ إِذَا طَلَبَهُ، أَزَاحَ الْعِلَلَ فِي

dari amarah-Nya, dan tiada tempat menyelamatkan diri dari siksa-Nya. Rahmat-Nya telah mengalahkan amarah-Nya dan siapa pun tak 'kan kehilangan diri-Nya ketika mencari-Nya, Ia telah memusnahkan segala rintangan

التَّكْلِيفِ وَ سَوَّى التَّوْفِيْقَ بَيْنَ الضَّعِيْفِ وَ الشَّرِيفِ، مَكَّنَ أَدَاءَ الْمَأْمُوْرِ وَ سَهَّلَ سَبِيْلَ اجْتِنَابِ

supaya taklif (terlaksana) dan menyamakan taufik antara orang yang lemah dan mulia, Ia telah mempersiapkan (lahan sesuai) demi pelaksanaan segala titah-Nya dan mempermudah jalan untuk menghindari

الْمَحْظُوْرِ، لَمْ يُكَلِّفِ الطَّاعَةَ إِلاَّ دُوْنَ الْوُسْعِ وَ الطَّاقَةِ، سُبْحَانَهُ مَا أَبْيَنَ كَرَمَهُ وَ أَعْلَى شَأْنَهُ، سُبْحَانَهُ

larangan-Nya, serta tidak mewajibkan menaati-Nya kecuali sesuai dengan kemampuan. Maha Suci Ia, alangkah nampak jelas anugrah-Nya dan alangkah tinggi kedudukan-Nya, Maha Suci Ia,

مَا أَجَلَّ نَيْلَهُ وَ أَعْظَمَ إِحْسَانَهُ، بَعَثَ اْلأَنْبِيَاءَ لِيُبَيِّنَ عَدْلَهُ وَ نَصَبَ اْلأَوْصِيَاءَ لَيُظْهِرَ طَوْلَهُ وَ فَضْلَهُ، وَ

alangkah besar pemberian-Nya dan alangkah agung kebajikan-Nya. Ia telah memngutus para nabi demi menjelaskan keadilan-Nya dan menentukan para washi demi menampakkan anugrah-Nya, serta

جَعَلَنَا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِ اْلأَنْبِيَاءِ وَ خَيْرِ اْلأَوْلِيَاءِ وَ أَفْضَلِ اْلأَصْفِيَاءِ وَ أَعْلَى اْلأَزْكِيَاءِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ

menjadikan kami dari umat jujungan para nabi, kekasih terbaik, pilihan termulia dan orang suci teragung, Muhammad SAWW.

عَلَيْهِ وَ آلِهِ وَ سَلَّمَ، آمَنَّا بِهِ وَ بِمَا دَعَانَا إِلَيْهِ وَ بِالْقُرْآنِ الَّذِيْ أَنْزَلَهُ عَلَيْهِ وَ بِوَصِيِّهِ الَّذِيْ نَصَبَهُ يَوْمَ

Kami beriman kepadanya dan kepada ajaran yang kami diajak untuk mengikutinya, serta kepada al-Qur'an yang telah diturunkan kepadanya dan kepada Washinya yang telah ditentukannya pada hari

الْغَدِيْرِ وَ أَشَارَ بِقَوْلِهِ هَذَا عَلِيٌّ إِلَيْهِ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ اْلأَئِمَّةَ اْلأَبْرَارَ وَ الْخُلَفَاءَ اْلأَخْيَارَ بَعْدَ الرَّسُوْلِ

Ghadir dan mengisyaratkan dengan sabdanya, "Ini adalah Ali" kepadanya. Dan aku bersaksi bahwa para imam yang saleh dan khalifah yang baik setelah Rasul

الْمُخْتَارِ عَلِيٌّ قَامِعُ الْكُفَّارِ وَ مِنْ بَعْدِهِ سَيِّدُ أَوْلاَدِهِ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، ثُمَّ أَخُوْهُ السِّبْطُ التَّابِعُ لِمَرْضَاةِ

terpilih adalah Ali, pembasmi orang-orang kafir, dan setelahnya adalah putranya yang terbesar, Hasan bin Ali, kemudian saudaranya, seorang cucu yang selalu mementingkan ridha

اللَّهِ الْحُسَيْنُ، ثُمَّ الْعَابِدُ عَلِيٌّ، ثُمَّ الْبَاقِرُ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ الصَّادِقُ جَعْفَرٌ، ثُمَّ الْكَاظِمُ مُوسَى، ثُمَّ الرِّضَا عَلِيٌّ،

Allah, al-Husein, lalu Ali Zainul Abidin, lalu Muhammad al-Baqir, lalu Ja'far ash-Shadiq, lalu Musa al-Kazhim, lalu Ali ar-Ridha,

ثُمَّ التَّقِيُّ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ النَّقِيُّ عَلِيٌّ، ثُمَّ الزَّكِيُّ الْعَسْكَرِيُّ الْحَسَنُ، ثُمَّ الْحُجَّةُ الْخَلَفُ الْقَائِمُ الْمُنْتَظَرُ الْمَهْدِيُّ

lalu Muhammad at-Taqi, lalu Ali an-Naqi, lalu Hasan az-Zaki al-Askari, lalu al-Hujjah, al-Qâ`im, al-Muntazhar, al-Mahdi,

الْمُرْجَى الَّذِيْ بِبَقَائِهِ بَقِيَتِ الدُّنْيَا، وَ بِيُمْنِهِ رُزِقَ الْوَرَى، وَ بِوُجُوْدِهِ ثَبَتَتِ اْلأَرْضُ وَ السَّمَاءُ، وَ بِهِ

harapan (seluruh makhluk jagad) yang dengan keberadaannya dunia masih ada, dengan berkah (keberadaan)nya umat manusia diberi rezeki, dengan wujudnya bumi dan langit tegak berdiri, dan dengan (perantara)nya

يَمْلأُ اللَّهُ اْلأَرْضَ قِسْطًا وَ عَدْلاً بَعْدَ مَا مُلِئَتْ ظُلْمًا وَ جَوْرًا، وَ أَشْهَدُ أَنَّ أَقْوَالَهُمْ حُجَّةٌ، وَ امْتِثَالَهُمْ

Allah akan memenuhi bumi ini dengan keadilan setelah ia didominasi oleh kezaliman dan kelaliman. Aku bersaksi bahwa semua titah mereka adalah hujjah, mengerjakan (perintah) mereka

فَرِيْضَةٌ، وَ طَاعَتَهُمْ مَفْرُوضَةٌ، وَ مَوَدَّتَهُمْ لازِمَةٌ مَقْضِيَّةٌ، وَ الاقْتِدَاءَ بِهِمْ مُنْجِيَةٌ، وَ مُخَالَفَتَهُمْ مُرْدِيَةٌ،

adalah kewajiban, menaati mereka adalah wajib, mencintai mereka adalah lazim, mengikuti (jejak) mereka adalah penyelamat, dan menentang mereka adalah pendatang celaka.

وَ هُمْ سَادَاتُ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَجْمَعِيْنَ وَ شُفَعَاءُ يَوْمِ الدِّينِ وَ أَئِمَّةُ أَهْلِ اْلأَرْضِ عَلَى الْيَقِيْنِ وَ أَفْضَلُ

Mereka adalah para penghulu seluruh penduduk surga, pemberi syafaat pada haru Kiamat, para pemimpin penduduk bumi yang semestinya, dan para washi yang paling utama

اْلأَوْصِيَاءِ الْمَرْضِيِّيْنَ، وَ أَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ، وَ مُسَاءَلَةَ الْقَبْرِ حَقٌّ، وَ الْبَعْثَ حَقٌّ، وَ النُّشُوْرَ حَقٌّ،

dan diridhai.

وَ الصِّرَاطَ حَقٌّ، وَ الْمِيْزَانَ حَقٌّ، وَ الْحِسَابَ حَقٌّ، وَ الْكِتَابَ حَقٌّ، وَ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَ النَّارَ حَقٌّ، وَ أَنَّ

Aku bersaksi bahwa kematian adalah benar, pertanyaan kubur adalah benar, haru Kebangkitan adalah benar, hari Mahsyar adalah benar, Shirâth adalah benar, timbangan (amal) adalah benar, hari Hisab adalah benar, buku (catatan amal) adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, hari

السَّاعَةَ آتِيَةٌ لاَ رَيْبَ فِيهَا، وَ أَنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ، اَللَّهُمَّ فَضْلُكَ رَجَائِيْ وَ كَرَمُكَ وَ رَحْمَتُكَ

Kiamat pasti akan tiba tiada keraguan tentangnya, dan Allah akan membangkitkan orang yang berada di dalam kubur. Ya Allah, karunia-Mu adalah harapanku, anugrah dan rahmat-Mu

أَمَلِيْ، لاَ عَمَلَ لِيْ أَسْتَحِقُّ بِهِ الْجَنَّةَ وَ لاَ طَاعَةَ لِيْ أَسْتَوْجِبُ بِهَا الرِّضْوَانَ إِلاَّ أَنِّيْ اعْتَقَدْتُ تَوْحِيْدَكَ

adalah pengharaapanku. Tiada bagiku amalan yang menyebabkan aku berhak atas surga dan tiada bagiku ketaatan yang memberhakkan aku mendapat ridha(-Mu), kecuali aku meyakini keesaan

وَ عَدْلَكَ، وَ ارْتَجَيْتُ إِحْسَانَكَ وَ فَضْلَكَ، وَ تَشَفَّعْتُ إِلَيْكَ بِالنَّبِيِّ وَ آلِهِ مِنْ أَحِبَّتِكَ، وَ أَنْتَ أَكْرَمُ

dan keadilan-Mu, mengharapkan kebajikan dan kerunia-Mu, dan menanti syafaat Nabi dan keluarganya yang Kau cintai untuk menemui-Mu, sedangkan Engkau lebih dermawan

اْلأَكْرَمِيْنَ وَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ، وَ صَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَ آلِهِ أَجْمَعِيْنَ الطَّيِّبِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ وَ سَلَّمَ

dari mereka yang dermawan dan lebih pengasih dari mereka yang pengasih. Semoga Allah selalu mencurahkan shalawat dan salam yang tak terhingga atas Nabi kita, Muhammad dan seluruh keluarganya yang suci,

تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا كَثِيْرًا، وَ لاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ، اللَّهُمَّ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، إِنِّيْ

dan tiada daya dan kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah Yang Maha Tinggi nan Agung. Ya Allah, wahai Yang lebih Pengasih dari mereka yang pengasih, aku

أَوْدَعْتُكَ يَقِيْنِيْ هَذَا وَ ثَبَاتَ دِيْنِيْ وَ أَنْتَ خَيْرُ مُسْتَوْدَعٍ وَ قَدْ أَمَرْتَنَا بِحِفْظِ الْوَدَائِعِ، فَرُدَّهُ عَلَيَّ وَقْتَ

titipkan keyakinanku ini dan keteguhan (dalam memegang) agamaku kepada-Mu, dan Engkau adalah orang terbaik yang dapat diserahi titipan. Engkau telah memerintahkan kami untuk menjaga semua titipan (orang lain), maka kembalikanlah titipanku itu kepadaku ketika

حُضُوْرِ مَوْتِيْ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

kematianku tiba, demi rahmat-Mu, wahai Yang lebih Pengasih dari mereka yang pengasih.

Pengarang kitab (Mafâtîh al-Jinân) berkata, "Dalam beberapa doa ma`tsûr (berasal dari para ma'shûm as) disebutkan, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari 'adîlah ketika maut tiba'". Arti dari kata 'adîlah adalah meninggalkan kebenaran dan merangkul kebatilan. Setan akan datang menghampiri setiap orang yang sedang sekarat untuk menggodanya dan menimbulkan keraguan (dalam hatinya) sehingga melucuti imannya. Oleh karena itu, banyak doa yang (dianjurkan dibaca) untuk menghindarkan diri dari itu semua. Fakhrul Muhaqqiqin ra berkata, "Barangsiapa ingin selamat dari 'adîlah itu, hendaknya ia memperkuat iman dan lima pokok agamanya dengan argumentasi-argumentasi yang kuat dan kebersihan jiwa, dan serahkanlah semua itu kepada Allah supaya Ia mengembalikannya kepadanya ketika ajal tiba. Caranya adalah membaca doa berikut ini setelah meresapi semua pokok akidahnya (yang telah termaktub dalam doa di atas dengan baik),

اَللَّهُمَّ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، إِنِّيْ قَدْ أَوْدَعْتُكَ يَقِيْنِيْ هَذَا وَ ثَبَاتَ دِيْنِيْ وَ أَنْتَ خَيْرُ مُسْتَوْدَعٍ وَ قَدْ أَمَرْتَنَا

Ya Allah, wahai Yang lebih Pengasih dari mereka yang pengasih, aku titipkan keyakinanku ini dan keteguhan (dalam memegang) agamaku kepada-Mu, dan Engkau adalah orang terbaik yang dapat diserahi titipan. Engkau telah memerintahkan kami

بِحِفْظِ الْوَدَائِعِ فَرُدَّهُ عَلَيَّ وَقْتَ حُضُوْرِ مَوْتِيْ

untuk menjaga semua titipan (orang lain), maka kembalikanlah titipanku itu kepadaku ketika kematianku tiba.

Menurut pendapatnya, membaca doa 'Adîlah yang mulia ini dan memahami kandungannya sangat bermanfaat untuk menjaga diri dari 'adîlah ketika ajal tiba. Lalu, apakah doa ini berasal dari para ma'shûm as atau dikte seorang ulama, seorang muhaddits tersohor, guru kami, Syeikh Haji Mirza Husein an-Nuri (semoga Allah menerangkan kuburnya) berkata, "Adapun doa 'Adîlah yang sudah masyhur itu adalah karangan sebagian ulama, bukan berasal dari imam ma'shûm as dan juga tidak disebutkan dalam buku-buku para ulama hadis".

Ketahuilah, Syeikh Thûsî ra meriwayatkan dari Muhammad bin Sulaiman ad-Dailami bahwa ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Imam Shâdiq as, "Para pengikut Anda berpendapat bahwa iman itu ada dua macam: iman yang tetap dan kokoh, dan iman pinjaman yang dapat sirna. Oleh karena itu, ajarkanlah kepadaku sebuah doa yang jika aku membacanya, niscaya imanku akan sempurna tidak akan pernah sirna". Beliau berkata, "Setiap selesai mengerjakan shalat wajib bacalah:

رَضِيْتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ نَبِيًّا وَ بِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وَ بِالْقُرْآنِ كِتَابًا وَ بِالْكَعْبَةِ قِبْلَةً

Aku rela Allah sebagai Tuhan(ku), Muhammad SAWW sebagai nabi(ku), Islam sebagai agama(ku), al-Qur'an sebagai kitab(ku), Ka'bah sebagai kiblat(ku),

وَ بِعَلِيٍّ وَلِيًّا وَ إِمَامًا وَ بِالْحَسَنِ وَ الْحُسَيْنِ وَ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ وَ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ وَ

Ali sebagai wali dan imam(ku), Hasan, Husein, Ali bin Husein, Muhammad bin Ali, Ja'far bin Muhammad,

مُوْسَى بْنِ جَعْفَرٍ وَ عَلِيِّ بْنِ مُوْسَى وَ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَ عَلِيِّ بْنِ مُحَمَّدٍ وَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَ الْحُجَّةِ

Musa bin Ja'far, Ali bin Musa, Muhammad bin Ali, Ali bin Muhammad, Hasan bin Ali dan al-Hujjah

بْنِ الْحَسَنِ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ أَئِمَّةً، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ رَضِيْتُ بِهِمْ أَئِمَّةً، فَارْضَنِيْ لَهُمْ، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ

bin Hasan sebagai imam-imam(ku). Aku ridha mereka sebagai para imam(ku), maka ridhailah aku demi mereka. Karena Engkau Maha Kuasa atas segala

قَدِيْر

sesuatu

Wanita -Iran (womens Of Iran)




Asyura In London

DEBAT HARUN Al-RASYID DG IMAM MUSA KAZHIM AS



Raja Harun al-Rasyid merasa terganggu jika mendengar masyarakat Muslim banyak memanggil Imam Musa al-Kazhim as dengan panggilan “Ibnu Rasul” yang artinya putra Rasulullah Saw, padahal menurutnya Rasulullah Saw tidak mempunyai keturunan laki-laki, sehingga nasab Nabi Saw terputus.

Pada suatu kesempatan Harun al-Rasyid meminta Imam Musa al-Kazhim as u
ntuk menemuinya.



Harun : “Mengapa Anda membiarkan masyarakat menasabkan diri Anda kepada Nabi Saw dan mereka memanggil Anda, “Ya Ibna Rasul – Wahai Putra Rasulullah” padahal, Anda adalah putra Ali (bukan putra Rasul), dan seseorang hanya dinasabkan kepada ayahnya. Sementara Fatimah hanyalah wadah. Nabi Saw adalah kakek atau moyang Anda dari pihak ibu Anda.”

Imam Musa : “Kalau Nabi Saw dibangkitkan, lalu menyampaikan kemuliaan Anda kepada Anda, akankah Anda menyambutnya?”

Harun : “Subhanallah! Mengapa saya tidak menyambut beliau? Saya akan membanggakan diri di hadapan bangsa Arab dan kaum non-Arab.”

Imam : “Akan tetapi, beliau tidak mengatakannya kepada saya dan saya pun tidak ingin mendahuluinya.”

Harun : “Anda benar. Akan tetapi, mengapa Anda sering mengatakan, “Kami keturunan Nabi Saw” padahal Nabi tidak memiliki keturunan? Sebab, keturunan itu dari pihak laki-laki, bukan dari pihak perempuan. Anda dilahirkan oleh putri Nabi (Fathimah). Oleh karena itu beritahukan kepada saya argumen Anda dalam masalah ini, wahai putra Ali. Anda dapat menegaskannya kepada saya dengan dalil dari Kitab Allah. Anda, wahai putra Ali, mengaku bahwa tidak turun dari kalian sedikit pun dari Kitab Allah itu, baik alif maupun wawu melainkan memiliki penakwilannya. Kalian berargumen dengan firman-Nya ‘Azza wa Jalla, “Tidaklah Kami alfakan sesuatu pun di dalam al-Kitab.” (QS al-An’am [6]: 38). Jadi, kalian tidak lagi memerlukan pendapat dan qiyas dari ulama lain.”

Imam : “Izinkanlah saya untuk menjawab.”

Harun : “Silahkan”

Imam : “Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) setan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. “Dan dari keturunannya (Nuh) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Isa, dan Ilyas semuanya termasuk orang-orang yang shalih.” (QS al-An’am [6]: 84-85). Lalu, siapa ayah Nabi Isa?

Harun : “Isa tidak memiliki ayah.”



Imam : “Tetapi, mengapa Allah Azza wa Jalla menisbatkannya kepada keturunan para nabi melalui ibunya, Maryam as? Maka demikian pula kami (Ahlul-Bayt) dinisbatkan kepada keturunan Nabi Saw melalui ibu kami, Fathimah as! Maukah saya tambahkan penjelasannya?”

Harun: “Tentu!”

Imam : “Allah Swt berfirman, “Siapa yang membantahmu tentang kisah `Isa sesudah datang pengetahuan yang meyakinkanmu maka katakanlah (kepadanya), “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, perempuan kami dan perempuan kamu, diri kami dan diri kamu. Kemudian marilah kita ber-mubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.” (QS Ali Imran [3]: 61). Tidak seorang pun mengaku bahwa ia disertakan Nabi Saw ke dalam jubah (al-kisa) ketika bermubahalah dengan kaum Nasrani kecuah Ali bin Abi Thalib as, Fatimah as, al-Hasan as, dan al-Husain as. Seluruh kaum Muslim sepakat bahwa maksud dari kalimat abna’ana (anak-anak kami) di dalam ayat mulia tersebut adalah Hasan dan Husain as, dan maksud nisa’ana (perempuan kami) adalah Fathimah al-Zahra as dan maksud kata anfusana (diri kami) adalah Ali bin Abi Thalib as.”



Harun : “Anda benar, wahai Musa!”

________________________________ Dikutip dari Allamah al-Tabarsi Abu Manshur Ahmad bin Ali di dalam kitabnya al-Ihtijaj Juz 2.

Recitations Al-Quran


Wanita -wanita iran (Womens of Iran)

Asyura In Karbala 2012

Photo: KARBALA 2012

Mubahalah

That occurred on the 24th of Dhul Hijjah
Letter of invitation to Christians of Najran:

The Prophet of Islam (p.b.u.h) wrote a letter to Abdul Haris Ibne Alqama, the Grand Bishop of Najran, who was the official representative of the Roman C
hurch in the Hijaz. And invited the people of that area to embrace Islam. The text of the said letter runs as under:
In the name the Lord of Ibrahim, Ishaq and Ya'qub

This is a letter from Muhammad, the Prophet and Messenger of Allah to the Bishop of Najran: I Praise and glorify the Lord of Ibrahim, Ishaq and Ya'qub, and invite you all to worship Allah instead of worshipping His creatures, so that you may come out of the guardianship of the creatures of Allah and take place under the guardianship of Allah Himself.

And in case you do not accept my invitation you must (at least) pay Jizyah (tribute) to the Islamic Government (in lieu of which it will undertake the protection of your lives and property), failing which you are hereby warned of dangerous consequences.

Muhammad, say to the followers of the Bible, "We must come to a common term: 'Let us worship no one except Allah'........" (Surah Ale Imran, 3:64)

The Prophet (p.b.u.h) goes for Mubahala (Imprecation)

Towards the close of the ninth year of Hijra, embassies from all parts of Arabia came uninterruptedly to the Holy Prophet at Medina, to profess Islam and to declare the adherence of their tribes to Prophet Muhammad. (Mention is made in the Holy Qur'an as below about this in Sura An-Nasr (Succor, Divine support)

When there comes the help of Allah and the victory, And you see men entering the religion of Allah in companies, Then celebrate the praise of your Lord, and ask His forgiveness; surely He is oft-returning (to mercy). 110:1-3

Until now, the Christians of Najran (a city in the province of Yemen) had kept themselves aloof. The Holy Prophet (p.b.u.h) sent a letter, inviting them to embrace Islam. In response to that letter the Christians counseled among themselves the course of their action and did ultimately send a representative deputation of fourteen members to Medina to study the facts pertaining to Hazrat Muhammad (p.b.u.h) and his mission.

Three Christian scholars, viz. Abdul Maseeh Aaquib, Saiyed and Abdul Haris, headed the deputation.

When these deputies reached Medina, they changed their clothes, which they had worn on the journey, dressed themselves in silken garments, put rings of gold on their fingers, and went to the mosque to greet the Holy Prophet. All of them greeted the Prophet traditionally, but the Apostle of God did not respond and turned his face away from them.

They left the mosque and approached Osman and Abdul Rahman Ibn Auf, complaining "your Apostle wrote to us and invited us, but when we went to see him and wished him, he neither reciprocated our wishes nor replied to us.

Now what do you advise us to do? Should we go back or wait for another opportunity?" Osman and Abdul Rehman could not comprehend the situation. At last they took the disputes to Ali, who advised them to remove the clothes of silk and the rings of gold that they were wearing and to put on their priestly robes.

The Holy Prophet would then willingly see them. Thereupon the Christian delegates changed into humble garments and presented themselves to the Apostle who then responded to their salutations and said, "By the Lord who has appointed me His Messenger, when they first came to me they were accompanied by Satan".

Thereafter the Apostle preached to them and requested them to accept Islam. They asked, "What is your opinion about Jesus Christ?" The Apostle said, "You may rest today in this city and after being refreshed you will receive the replies to all your questions from me." The Apostle was awaiting a revelation in this matter, and the next day the verses of the Holy Qur'an Sura No.3 (Al-e-Imraan) verses 59-60 were revealed to him to show the true position of Jesus Christ.

Surely the likeness of Jesus is with Allah as the likeness of Adam; He created him from dust, then said to him 'Be', and he was. (This is) the truth from your Lord, so be not of the disputers. 3:59-60

When they reappeared before the Holy Prophet, The Holy Prophet recited the above verses before the visiting Christians explaining that Christ was a Prophet like Adam and like Adam, created from dust and therefore could not be the son of God. After this, the Holy Prophet invited them to embrace Islam. The Christians remained obstinate and refused to be convinced by anything.

Thereupon the following verse No. 61 from Sura No.3 was revealed:
But whoever disputes with you in this matter after what has come to you of knowledge, then say: Come let us call our sons and your sons and our women and your women and ourselves and yourselves, then let us be earnest in prayer, and invoke the curse of Allah on the liars. 3:61

Now the Holy Prophet reproduced the Quranic verse before the deputation of the Christians and declared the challenge of 'Mubahala'. The term 'Mubahala' is derived from its Arabic root 'Bahlah' meaning 'curse'. Thus the word 'Mubahala' literally means cursing each other. The Christians consulted each other and ultimately announced their acceptance of the challenge.

Early next morning the Holy Prophet (p.b.u.h) sent Salman al Farsi ( May Allah be well pleased with him ) to the open place, fixed outside the city for the historic event, to erect a small shelter for himself and those he intended to take along with him for the contest.

However, it was on the morning of 24th Zilhajj that the Holy Prophet emerged at the appointed time and place, from his sacred abode with Imam Hussain in his arms and holding Imam Hasan's hand and Janab-e-Fatima followed by Hazrat Ali (styled as the Holy Panjetan). The Holy Prophet then directed them to utter "Ameen" when he prayed to God.

No sooner had the sacred caravan of the Holy Prophet appeared to the sight of the opposing group of the Christians of Najran then they were awestruck and spellbound. Abdul Haris lbne Alqama, the greatest scholar among them, addressed his people:

"Verily I see a divine light on the face of our combatants; I am beholding such faces among them as can make the mountains move from their spots if they pray to God. So beware! Never try to contest with them, otherwise you will perish and the entire nation of Christians will succumb to extinction!"

Thereupon the Holy Prophet reiterated, "By God! Had the Christians of Najran contested with us, they would have been transformed into monkeys and swans. Fire would have rained over them from the sky and they would have been doomed."

When the Christians refrained from 'Mubahala', the Holy Prophet put before them two alternatives: either to embrace Islam or to be prepared to come to terms. But the Christians would not agree till the matter was finally decided by an offer of treaty from their side. Thus a peace treaty was signed on the terms that the Christians of Najran would thereby be committed to pay the Holy Prophet an annual tribute consisting of two thousand costumes-worth: forty thousand Dinars, thirty horses, thirty camels, thirty armors and thirty spears. (Meraj-un-Nabuwat)

Authentic Proofs are quoted below regarding the Ayat of the Holy Qur'an-Sura 3-verse 61 as given on page 73 Imam Fakhruddin Razi writes in his Tafseer-e-Kabeer (volume 2): "When this verse was revealed to the Holy Prophet, the Christians of Najran accepted the challenge of 'Mubahala' and the Holy Prophet took along with him Imam Hussain, Imam Hasan, Janab-e-Fatima and Hazrat Ali to the field of Mubahala."

To quote Allama Zamakhshari in his 'Tafseer-e-Kashshaf'. "There can be no more authentic and stronger evidence for the integrity of Ashab-e-Kisa, i.e., Hazrat Ali, Janab-e-Fatima, Imam Hasan and Imam Hussain than this Qur'anic verse. For in compliance with the order of God the Holy Prophet summoned his Ahl-ul-Bait, took Hussain in his arms, and grasped Imam Hasan's hand in his own, asked Janab-e-Fatima to follow him and Hazrat Ali to follow her.

This proved that the Holy Ahl-ul-Bait were those to whom the Qur'anic verse was directed."
It is related by Soad Ibne Waqas that: "When this verse was revealed, the Holy Prophet sent for Hazrat Ali, Janab-e-Fatima, Imam Hasan and Imam Hussain and prayed to God thus: "O My God! These are the very Ahl-ul-Bait of mine!" (Sahih Muslim. Vol. 1, Sahih Tirmizi.)

Abdullah Ibne Umar quotes the Holy Prophet to have commented:

"Had there been any soul on the whole earth better than Ali, Fatima, Hasan and Hussain, God would have commanded me to take them along with me to 'Mubahala'. But as they were superior in dignity and respect to all human beings, God confined His Choice on them only for participation in 'Mubahala'". (Tasfeer-e-Baizavi)

According to some versions it is stated that on the morning of 24th Zilhajj, a large number of people thronged the door of the Holy Prophet, every one anticipating his chance to be selected for the team of 'Mubahala'. But when the Holy Prophet emerged out of his house accompanied by his 'Ahl-ul-Bait'. They were all stunned.

The event of the Mubahala is important for the following reasons:

01. It proved to be a silencing lesson for all the Christians of Arabia who no longer dared any competition with the Holy Prophet (p.b.u.h).

02. The invitation of 'Mubahala' was directed by God, and it was in compliance with His Command that the Holy Prophet took his Ahl-ul-Bait along with him to the field of 'Mubahala'. This serves to generalize how affairs pertaining to Apostleship and the religion of God are determined by the Will of God; allowing no margin of interference from the common people (Ummat). The matter of Hazrat Ali's succession followed by eleven Imams to the office of religious leadership should be viewed in this perspective.

03. The indispensability of Hazrat Ali, Janab-e-Fatima, Imam Hasan and Imam Hussain in following the precepts of the Holy Prophet (p.b.u.h) could no longer be disputed.

04. That notwithstanding their childhood, Imam Hasan and Imam Hussain did nevertheless, serve as the active partners of the Holy Prophet in the field of 'Mubahala'. This yields the conclusion that age is no criteria for the greatness of the infallibles (Masoom). They are born adorned with virtues and knowledge.

05. That the Holy Prophet's act of having preferred a few obviously elevates their status above all others.

As Islam had emerged triumphantly against Christianity on the occasion of 'Mubahala', this day assumes the significance of an Eid day in Islamic history.

Why was Imam Ali included?

The Almighty commanded His Messenger to say to the delegation of Najran: "Come! We will summon our Sons and your Sons, our women and your women; and ourselves and yourselves...."
In compliance with this command, the Prophet brought with him, Al-Hasan and Al-Hussain, because they were the sons of his daughter Fatima, and for this they are his sons.

He brought Fatima with him because she represents the women from the members of his House. But why did he bring with him Imam Ali who was neither from the sons nor from the women?
Imam Ali has no place in the verse unless he is included in the word "ourselves."
Bringing Imam Ali with him indicates that the Messenger of God considered Imam Ali an extension of his personality.

By considering him so, he elevated him above all the Muslims.
The Messenger said on many occasions: "Ali is from me and I am from him."
Hubshi Ibn Janadah reported that he heard the Messenger of God, saying:
"Ali is from me and I am from him, and no one represents me but Ali."

May the blessings of Allah always be with you and your family Ameen .

72 Matyrrs Of Karbala


KESYAHIDAN UTUSAN IMAM HUSAIN



Rombongan Imam Husain bertolak dari Mekah menuju Irak. Ketika tiba di daerah bernama Hajis, surat Muslim bin Aqil sampai ke tangan Imam Husain. Di dalamnya tertulis, “Masyarakat (Kufah) memberi sambutan baik dan mereka semua menunggu kedatangan Anda……”

Imam Husain menulis surat untuk para pengikut beliau di Kufah. Lalu surat itu diserahkan kepada Qais bin Musahhar S
haidawi, untuk dibawa ke Kufah dan diserahkan kepada pemuka pengikut Ahlul Bait. Dalam surat itu tertulis, “Bismillah al-Rahman al-Rahim, dari Husain untuk saudara seiman, assalamu ‘alaikum. Kami bersyukur kepada Allah Yang Mahaesa, amma ba’du : Surat Muslim bin Aqil telah saya terima, yang isinya menjelaskan kebaikan pandangan kalian, dan kesiapan kalian membantu kami dan menuntut hak kami. Saya memohon kepada Allah agar usaha kita dapat berjalan lancar dan memberi kalian pahala. Pada hari Selasa tanggal delapan Dzulhijjah, saya keluar dari Mekah. Tatkala pembawa surat ini (Qais) sampai di sisi kalian, bersatulah dan bersiap-siaplah. Insaya Allah pada hari-hari ini saya akan datang menemui kalian. Salam, rahmat dan berkah Allah senantiasa menyertai kalian.”

Qais bertolak ke Kufah. Sesampainya di Qadisiyah, ia ditangkap orang-orang yang dipimpin Hashin bin Numair. Lalu ia dibawa ke hadapan Ibnu Ziyad. Di tengah perjalanan, ia mengeluarkan surat Imam Husain yang dibawanya dan dirobek-robeknya. Tatkala sampai di hadapan Ibnu Ziyad, terjadilah dialog.

Ibnu Ziyad, “Siapa kamu?” Qais, “Seorang pengikut Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.”

“Mengapa engkau merobek-robek surat itu?”

“Supaya engkau tidak mengetahui apa yang tertulis di surat itu.”

“Dari siapakah surat itu, dan untuk siapa?”

“Dari Imam Husain untuk perkumpulan masyarakat Kufah.”

“Apa nama perkumpulan itu?”

“Aku tak tahu.”

Ibnu Ziyad gusar dan berkata, “Naiklah ke ketinggian itu, dan caci makilah si pembohong anak pembohong Husain bin Ali.”

Qais pun melaksanakan perintah itu. Setelah mengungkapkan pujian kepada Allah, ia berkata, “Wahai manusia! Husain bin Ali ini adalah anak Fatimah sebaik-baik makhluk Allah. Saya adalah utusannya untuk kalian. Di Hajis, saya berpisah dengannya. Sambutlah ajakan Imam!” Kemudian ia mengutuk Ibnu Ziyad serta ayahnya, dan memohon ampun untuk imam Ali bin Abi Thalib. Kemudian Ibnu Ziyad memerintahkan membawa Qais ke atap istana dan melemparkannya ke tanah. Akhirnya, ia pun mereguk kesyahidan.

DAN DIA ADALAH HUSEIN (MAQTAL BAG 5-SELESAI)



IMAM HUSEIN BIN ALI BIN ABI THALIB AS

Curahan Darah Di Karbala
Menggenangi Segenggam Hati
Terserap Habis Di dalam Dada
Lalu Sulutkan Api
Selamanya Akan Membara
Hingga Kita Mati

Imam mulai memacu kudanya sambil berkata: “Bagiku mati lebih baik dari pada menanggung malu, dan menanggung malu lebih baik dari pada masuk neraka.” Imam menyerang sayap kanan musuh, karena begitu hebatnya serangan yang dilancarkan oleh Imam, hingga sayap kanan musuh menjadi sayap kiri dan sayap kiri menjadi sayap kanan.

Imam berperang laksana ayahnya Amirul Mu’minin, hingga pasukan musuh tidak ubahnya seperti sekumpulan domba yang melarikan diri dari serangan seekor singa. Imam membunuh lebih dari empat ratus pasukan musuh. Pihak musuh berlarian bercerai berai seperti sekelompok belalang yang tertiup oleh angin topan. Karena serangan Imam begitu hebat, pasukan musuh berlarian menjauhi sungai.

Ketika Imam mulai mendekati sungai Umar Bin Sa’ad ketakutan dan berteriak: “Celaka sekiranya Husain dapat minum, Karena ia tidak akan membiarkan seorangpun dari kalian hidup.”

Lalu hewan laknat Hashin Bin Numair, melontarkan anak panahnya dan anak panah itu mengenai dagu Imam. Imam mencabut anak panah dari dagunya, dan darah mengalir deras dari dagu yang cucu Rasulullah. Setelah memanah Imam Nashim Bin Numair berteriak untuk mengelabui Al-Husain, :”Wahai Husain, kemah-kemah keluargamu sedang dijarah.” Mendengar itu Imam memacu kudanya meninggalkan tepian sungai dan kembali kekemah keluarganya untuk melindungi mereka.

Kemudian Imam mengumpulkan seluruh keluarga dan anak-anaknya, melihat darah yang mengalir deras dari dagu Imam, seluruh keluarganya menangis. Melihat keadaan Imam, dalam keadaan sakit keras Ali Zainal Abidin As Sajjad, tertatih menghampiri Imam dan berkata: “Duhai ayahku, izinkanlah aku mengucapkan salam perpisahan kepadamu.” Imam memeluk kemudian mecium Ali Zainal Abidin, dan menyerahkan rahasia kepemimpinan kepadanya.

Lalu Imam berpesan: “Kalian harus tetap tabah dan tegar dalam menghadapi kesulitan setelah ini, ketahuilah bahwa Allah akan melindungi dan menolong kalian dari musuh kalian. Janganlah kalian berputus asa, musuh kalian akan dihukum dengan siksaan yang sangat berat. Dan Allah akan memberikan kalian berbagai kemuliaan dan kenikmatan. Karena itu, janganlah kalian mengeluh, dan jangan mengatakan sesuatu yang membuat kalian terlihat lemah. Dan bersiaplah untuk menghadapi berbagai kesulitan.”

Kemudian Imam kembali melesat ketengah medan petempuran, pada serangan keduanya Imam dengan cepat membunuh seratus sembilan puluh lima pasukan musuh. Melihat pasukannya lari berhamburan, Umar Bin Sa’ad berkata: “Celakalah kalian! Tidakkah kalian tahu dengan dengan siapa kalian berhadapan? Dia adalah putera Ali Bin Abi Thalib yang telah membunuh para jagoan Arab.”

Maka dengan licik segera Umar Bin Sa’ad memerintahkan pasukan pemanah untuk memanah Al-Husain, dengan cepat empat ribu anak panah melesat memenuhi langit, dan mengarah kekemah dan Imam. Hingga terciptalah jarak antara Imam dan keluarganya.

Imam berteriak: “Celakalah kalian, wahai pengikut keluarga Abu Sufyan! Jika kalian tidak beragama dan tidak pula takut dengan hari kebangkitan. Maka jadilah orang-orang bebas di dunia ini!”

Lalu Syimir berkata: “Apa yang kau katakan, wahai putera Fathimah?” Dan Imam menjawab: “Yang berperang dengan kalian adalah aku. Para wanita itu tidak berdosa. Karena itu, cegahlah kejahatan kalian dari keluargaku. Selama aku masih hidup tidak ada seorangpun yang dapat menyentuh keluargaku.”

Syimir menyetujui permintaan Al-Husain, dan memerintahkan pasukannya untuk langsung menyerang kepada Imam. Peperangan hebat kembali bergejolak, dari setiap gerakan Imam ketika bertempur mereka teringat Singa Allah Amirul Mu’minin. Lalu pasukan Syimir mundur menjauhi Imam.

Lalu karena kelelahan Imam berhenti sejenak untuk beristirahat, tiba-tiba seseorang melepaskan ketapel batu, dan batu cadas itu tepat mengenai kening Imam. Darah mengalir diwajah Imam, kemudian Imam mengangkat bajunya untuk membersihkan darah dari wajahnya.

Belum selesai Imam membersihkan wajahnya, anak panah beracun melesat dan menghujam dada Imam. Racun itu membuat Imam lemah, Imam terhuyung dan hanya mampu berdiri ditempatnya.

Dan majulah hewan biadab yang bernama Malik Bin Nashr Kindi menghampiri Imam. Ia mencaci maki dan menghina Imam, lalu ia mencabut pedangnya dan memukul kepala Imam dengan begitu kuat, hingga menembus topi perang Imam. Maka darah memancar dari kepala yang selalu dibelai oleh Rasulullah.

Kemudian Imam melepas topi perangnya dan pergi menuju kemah, lalu meminta kain untuk menutup luka yang menganga dikepalanya. Kemudian Imam memakai kembali topi perangnya diatas kain dan melilitkan surban diatasnya.
Ketika kepala dan wajah Imam bersimbah darah, Imam Husain berkata; “Dalam keadaan seperti inilah aku akan menemui kakekku, dan aku akan katakan siapa yang telah membunuhku.”

Kemudian Imam kembali memanggil anak-anak dan keluarganya. ““Duhai putriku Sukainah, Ya Fathimah, Ya Ummu Kultsum, Ya Zainab. Salam sejahtera untuk kalian” Mendengar itu Sayyidah Zainab sambil menangis berkata: “Duhai kakakku sayang, Apakah engkau yakin akan terbunuh?”

Lalu Imam menjawab: “Duhai adikku, bagaimana aku tidak yakin sementara tidak ada orang yang mau menolongku.” Ketika Imam ingin kembali kemedan pertempuran, Sayyidah Zainab menangis histeris dan berkata: “Duhai kakakku, tunggulah sebentar. Izinkanlah aku untuk melihat wajahmu untuk yang terakhir.”

Imam menghampiri adiknya, setelah memandangi wajah Imam lalu Zainab mencium tangan dan kaki Imam, begitu pula yang dilakukan oleh seluruh keluarga Al-Husain, kemudian semuanya menangis histeris. Kemudian Imam kembali menuju medan pertempuran.

Ketika Imam menuju musuh, keponakan Imam bernama Abdullah Bin Al-Hasan Al-Mujtaba mengikuti Imam dari belakang. Usia Abdullah baru sebelas tahun, Imam melihat Abdullah sedang berlari mengikutinya. Maka Imam meminta Zainab untuk menahan Abdullah yang masih sangat belia itu.

Tetapi Abdullah menolaknya dan terus berlari sambil berkata: “Aku bersumpah tidak akan kembali hingga aku dapat menyusul paman kesayanganku.” Saat Abdullah hampir mendekati Imam, tiba-tiba pasukan musuh Harmalah Bin Kahil mengayunkan pedangnya kepada Al-Husain.

Seketika Abdullah marah dan berteriak: “Celaka engkau, wahai anak penzina! Engkau ingin membunuh pamanku.” Teriakan Abdullah membuat Harmalah marah, lalu Harmalah mengayunkan pedangnya kepada anak kecil itu, Abdullah menangkis sabetan pedang dengan tangannya. Maka tangan kecil cucu Fathimah itu terputus, darah berhamburan dari tangannya. Karena rasa sakit anak kecil itu berteriak: “Duhai pamanku..” Melihat itu Imam melompat dari kudanya dan menangis kemudian memeluk Abdullah dan berkata: “Duhai anak saudaraku, bersabarlah dengan apa yang menimpamu. Sebentar lagi engkau akan bertemu dengan ayahmu.”

Belum selesai Imam berkata-kata, tiba-tiba dengan jarak dekat hewan laknat Harmalah Bin Kahil memanah tenggorokan kecil Abdullah. Anak panah itupun menembus leher putera Al-Hasan itu sehingga darah memancar dari lehernya. Dan Abdullah pun syahid dalam pelukan paman kesayangannya Al-Husain.

Seketika anak panah kembali berterbangan, para wanita dan anak-anak berlari menuju tempat yang aman. Kemudian Al-Husain mengepalkan tangannya mencengkram pedangnya kuat-kuat dan melesat kembali kemedan pertempuran dan membunuh setiap musuh yang berada dihadapannya.

Syimir berteriak: “Engkau tidak akan meminum air hingga engkau masuk neraka!” Imam berkata: “Ya Allah, buatlah ia (Syimir) mati disebabkan dahaga.” Lalu Abu Hutuf dari belakang melesatkan anak panah dan menancap dikepala Imam. Lalu Imam mencabut anak panah itu dan menjatuhkannya seraya berkata: “Ya Allah, jangan tinggalkan apapun pada mereka diatas bumi ini, dan jangan memberi pengampunan pada mereka.”

Lalu Imam berteriak lantang: “Ini adalah perlakuan terburuk yang kalian berikan kepada keluarga Muhammad! Aku akan terbunuh oleh kalian, tetapi Allah akan memberikan pembalasan pada kalian semua!”

Imam sudah teramat lemah akibat luka parah dan racun yang menjalah dalam darahnya. Tubuh Imam sudah penuh dengan anak panah. Pada keadaan ini Saleh Bin Wahab Mazni menganggap ini sebagai kesempatan. Dengan sekuat tenaga ia hujamkan tombak kepunggung Imam. Hingga Imam terjatuh dari kudanya dan berkata: “Dengan nama Allah, dengan pertolongan Allah dan diatas agama Rasulullah.”

Kemudian Zar’ah Bin Syarik menebaskan pedangnya kepundak kiri Imam, merasa tidak puas maka ia sekali lagi menebaskan pedangnya diantara bahu dan leher Imam, sehingga Imam terjatuh kedepan. Begitu banyak musuh yang memukuli Al-Husain hingga kadang Imam tersungkur dan kadang jatuh terduduk.

Ketika Imam sedang terduduk, hewan biadab yang bernama Sinan menusukkan tombaknya kedada Imam, kemudian ia mencabut dan menusukkan kembali tombaknya kedada putera Az Zahra’. Dan terkhir ia memanah dada Imam dari jarak dekat, dan Imam tersungkur kedepan.

Imam sudah tidak berdaya, sekujur tubuhnya telah penuh dengan luka tikaman dan racun dari anak panah telah menyerang jantungnya. Imam sudah tidak mampu untuk berdiri. Lalu Umar Bin Sa’ad berkata kepada budaknya: “Habisilah dia!”

Setiap pasukan yang maju untuk membunuh Imam, seketika mundur ketakutan. Ammar Bin Hajjaj turun dari kudanya. Imam Husain menggerakkan kelopak matanya berusaha membuka kedua matanya yang telah tertutup darah. Tatkala Ammar Bin Hajjaj bertatapan dengan Imam. Ia berbalik dan menaiki kembali kudanya. Syimir bertanya mengapa ia mundur, maka Ammar menjawab: “Aku takut, karena matanya sama dengan mata kakeknya, Rasulullah.”

Lalu Syimir membentak pasukannya: “Mengapa kalian hanya melihatnya? Apa yang kalian harapkan darinya? Jika ia mampu membunuh kalian, pasti sudah ia lakukan. Cepat bunuh! Selagi ia tak berdaya!”

Imam tergeletak diatas pasir panas dan sudah tidak berdaya, Imam melihat samar kearah tentara. Mereka masih terus mengelilingi Imam dan memandanginya. Imam meminta sedikit air untuk meminumnya. Salah seorang dari mereka berkata: “Engkau tidak akan mendapatkan air, hingga engkau pergi ke neraka!”

Dengan suara lemah Imam menjawab: “Apakah aku akan keneraka bersama kakekku, dan dia adalah Rasulullah? Aku akan menceritakan kepada kakekku apa yang telah kalian lakukan kepadaku.”

Kemudian Imam mengangkat tangannya kelangit dan berkata: “Ya Allah, aku membutuhkan Engkau dan meminta pertolongan dari-Mu, dan hanya percaya kepada-Mu. Ya Allah, adililah antara kami dengan orang-orang ini. Siapa yang mengundang kami, kemudian berkhianat melawan dan membunuh kami. Ya Allah, aku tabah atas apapun yang sudah menjadi takdirku.”

Sejak Imam terjatuh dari kudanya, sang kuda tidak meninggalkan Imam. Kuda itu terus berputar didekat Imam. Kuda itu kembali mendatangi Imam lalu mengendus-endus tubuh Imam, kemundian meringkik dengan keras. Lalu kuda itu mengamuk dan menendang musuh yang berada didekatnya. Empat puluh musuh mati dengan dada remuk akibat tendangan kuda Imam.

Lalu kuda Rasul itu berlari kekemah keluarga Nabi, seakan memberi kabar tentang keadaan Imam. Setelah keluarga Nabi melihat kuda itu datang tanpa penunggangnnya. Mereka menyadari bahwa Imam tengah sekarat, seluru keluarga Nabi menangis histeris.

Seketika Sayyidah Zainab berlari sambil berteriak: “Duhai kakakku, pemimpin keluargaku. Seakan langit runtuh ke bumi dan gunung-gunung meletus dan berserakan di daratan.” Ketika Zainab melihat pasukan musuh berbaris didepan tubuh Al-Husain yang sudah terkulai tak berdaya. Ia berteriak: “Celakalah engkau, wahai Umar Bin Sa’ad! Mereka membunuh Al-Husain kakakku, sementara engkau yang menyaksikannya! Tidak adakah diantara kalian yang beragama Islam?”

Zainab berlari memeluk tubuh kakaknya yang sudh berlumuran darah, lalu Imam berbisik kepada adiknya: “Duhai adikku sayang, jagalah anak-anakku. Kembalilah kekemah, agar engkau tidak melihat ketika leher ini berada dibawah pedang.”

Syimir berteriak kepada pasukannya: “Karena kalian semua pengecut! Maka tidak ada yang lebih pantas membunuhnya kecuali aku!” Dengan bengis Syimir mendorong kepala Zainab dengan tombaknya sambil berkata: “Wahai puteri Ali, kembalilah! Engkau tidak akan melihat kakakmu lagi.”

Syimir menghampiri tubuh Imam yang sedang sekarat, kemudian Syimir menendang kaki Imam dengan keras, menginjak dan menduduki dada Imam. Itu membuat Imam merasa sesak dan tidak bisa bernafas karena dadanya tertindih. Lalu Syimir menarik janggut Imam.

Imam membuka matanya dan samar-samar melihat Syimir dengan menggunakan topeng besi penutup wajah, sedang menduduki dan menginjak dadanya.

Dengan suara lemah Imam berkata: “Siapakah engkau yang telah menginjak dada yang selalu diciumi Rasulullah?”
Syimir menjawab: “Aku adalah Syimir Dzil Jausyan!”
Imam bertanya lagi: “Apakah engkau mengenalku?”
Dan Syimir pun menjawab: “Aku mengenalmu dengan sangat baik!”
Lalu Imam Husain berkata: “Jika engkau harus membunuhku, berilah aku seteguk air terlebih dahulu.”
Syimir menjawab dengan kejam: “Tidak ! Engkau tidak akan aku berikan air hingga engkau aku bunuh.”
Kemudian Imam bertanya lagi: “Sebelum engkau membunuhku, perlihatkanlah wajahmu kepadaku.”
Syimir menjawab: “Baiklah! Permintaan yang terakhir ini akan aku penuhi.”

Setelah Syimir membuka penutup wajahnya, Imam memandangi Syimir sambil berkata: “Sungguh benar apa yang telah kakekku katakan, bahwa aku akan dibunuh oleh orang yang berwajah seperti binatang terburuk.”

Mendengar perkataan Imam, Syimir melaknat Rasulullah dan menghujani tubuh Imam dengan dua belas kali tusukan. Setiap tusukan Imam merintih kesakitan dan terus menyebut Asma Allah dan bershalawat kepada Rasulullah. Terakhir Syimir menggorok leher Imam, namun pedangnya tidak bisa memotong leher Imam. Karena leher inilah yang selalu diciumi Rasulullah dan Fathimah Az Zahra’.

Kemudian Syimir membolak-balik tubuh Imam, sambil tangannya terus menerus menggorok leher Imam, mencari bagian yang dapat ia sembelih. Lalu Syimir membalik tubuh Imam hingga wajah Imam bertemu dengan tanah. Dan mulai menggorok Imam dari belakang leher Imam.

Maka mata pedang Syimir yang tajam, perlahan mulai merobek dan menembus kulit dan urat leher Imam. Darah memancar deras dari urat leher Imam yang terputus. Dan terhenti pada tulang leher Imam, kemudian Syimir berdiri dan menebas leher Imam sekuat tenaga untuk memutuskan tulang leher Imam. Maka leher yang selalu diciumi Az Zahra’ itupun terputus. Kemudian Syimir mengambil kepala Al-Husain dan memancapkannya diujung tombaknya.

Inna Lillahi Wa Inna Ilayhi Roji’un.

Setelah itu, para tentara musuh maju untuk merampas semua barang yang melekat pada tubuh Al-Husain. Ibnu Haiwa mengambil baju Imam, Ibnu Martsad mengambil sorban Imam, Ibnu Khalid mengambil sepatu Imam dan Ibnu Khal mengambil pedang Imam, Qais mengambil beludru Qathifah Imam, Ja’wunah mengambil baju besi Imam, dan Rahil mengambil busur Imam.

Dan bajad ingin mengambil cincin Imam, namun ia tidak dapat melepaskan cincin itu dari jari Imam, maka Bajad memotong jari Imam hanya untuk mendapatkan cincin itu. Kemudian mereka meninggalkan tubuh yang tanpa kepala itu ditengah gurun tandus Karbala.

YA RABB....YA RASUL...YA ZAHRA'......
YA SYAHID.. YA MADZLUM.. YA IMAM.. YA HUSEIN..

La'natullah ala Muawyiah ibn Abu Sufyan, wa la'natullah ala Yazid ibn Muawiyah, wa ala Ibn Ziyad, wa ala Umar ibn Sa'ad, wa ala Syimr, wa la'natullah ala kullun Nashibi ila yaumil qiyamah !!!!