Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian,hai ahlul bait,dan menyucikan kalian suci sesucinya. (Q.S. Al-azhab: 33)

Katakanlah, 'Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku'.dan siapa mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan baginya kebaikan atas kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah lagi Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri"(Q.S As-Syura:23)

"Sesungguhnya Aku telah tinggalkan dua pusaka berharga untuk kalian ; Kitab Allah dan Itrah, Ahlulbaytku. Selama berpegang pada keduanya, kalian tidak akan terpisah hingga menjumpaiku di Telaga Kausar kelak pada hari kiamat."(H.R. Sahih Muslim,jil7 hal.22;Mustadrak Hakim, Jilid 3,hal.109,147,533 dan kitab-kitab induk yang lain)

Wednesday, November 4, 2009

Nahjul Balaghah : Dikenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah

Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar)[ii] <#_edn2> membusanai
dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal ia pasti tahu bahwa kedudukan
saya sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada
penggiling. Air bah mengalir (menjauh) dari saya dan burung tak dapat
terbang sampai kepada saya. Saya memasang tabir terhadap kekhalifahan
dan melepaskan diri darinya.

Kemudian saya mulai berpikir, apakah saya harus menyerang ataukah
menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, di mana orang
dewasa menjadi lemah dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang
sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai ia menemui Allah (saat
matinya). Saya dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana. Maka saya
mengambil kesabaran, walaupun ia menusuk di mata dan mencekik di
kerongkongan. Saya melihat perampokan warisan saya sampai orang yang
pertama menemui ajalnya, tetapi mengalihkan kekhalifahan kepada Ibnu
Khaththab sesudah dirinya.

Kemudian ia mengutip syair al-'A'sya':

Hari-hariku kini berlalu di punggung unta (dalam kesulitan)

Sementara ada hari-hari (kemudahan)

Ketika aku menikmati pertemanan Hayyan, saudara Jabir.[iii] <#_edn3>

Aneh bahwa selagi hidup ia ingin melepaskan diri dari kekhalifahan,
tetapi ia mengukuhkannya untuk yang lainnya setelah matinya. Tiada ragu
bahwa kedua orang ini sama bersaham pada puting-puting susunya
semata-mata di antara mereka saja. Yang satu ini menempatkan
kekhalifahan dalam suatu lingkungan sempit yang alot di mana ucapannya
sombong dan sentuhannya kasar. Kesalahannya banyak, dan banyak pula
dalihnya kemudian. Orang yang berhubungan dengannya adalah seperti
penunggang unta binal. Apabila ia menahan kekangnya, hidungnya akan
robek, tetapi apabila ia melonggarkannya maka ia akan terlempar.
Akibatnya, demi Allah, manusia terjerumus ke dalam kesemberonoan,
kejahatan, kegoyahan dan penyelewengan. Namun demikian saya tetap sabar
walaupun panjang-nya masa dan tegarnya cobaan, sampai, ketika ia pergi
pada jalan (kematian)nya, ia menempatkan urusan (kekhalifahan) pada
suatu kelompok[iv] <#_edn4> dan menganggap saya salah satu dari mereka.
Tetapi, ya Allah, apa hubungan saya dengan "musyawarah" ini? Di manakah
ada suatu keraguan tentang saya sehubungan dengan yang pertama dari
mereka sehingga saya sekarang dipandang sama dengan orang-orang ini?
Tetapi saya tetap merendah ketika mereka merendah dan terbang tinggi
ketika mereka terbang tinggi. Seorang dari mereka menentang saya karena
kebenciannya, dan yang lainnya cenderung ke jalan lain karena hubungan
perkawinan dan karena ini dan itu, sehingga orang ketiga dari
orang-orang ini berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan
makanannya. Bersamanya sepupunya pun bangkit sam-bil menelan harta
Allah[v] <#_edn5> seperti seekor unta menelan rumput musim semi, sampai
talinya putus, tindakan-tindakannya mengakhiri dirinya dan
keserakahannya membawanya jatuh tertelungkup.

Pada waktu itu tak ada yang mengagetkan saya selain kerumunan orang yang
maju kepada saya dari setiap sisi seperti bulu tengkuk rubah sehingga
Hasan dan Husain terinjak dan kedua ujung baju bahu saya robek. Mereka
berkumpul di sekitar saya seperti kawanan kambing. Ketika saya mengambil
kendali pemerintahan, suatu kelompok memisahkan diri dan satu kelompok
lain mendurhaka, sedang yang sisanya mulai menyeleweng seakan-akan
mereka tidak mendengar kalimat Allah yang mengatakan, "Negeri akhirat
itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak in gin menyombongkan diri
dan berbuat kerusakan di (muka) buini. Dan kesudahan (yang baik) itu
adalah bagi orang-orang yang bertakwa. " (QS. 28:83)

Ya, demi Allah, mereka telah mendengarnya dan memahaminya, tetapi dunia
nampak berkilau di mala mereka dan hiasannya menggoda mereka. Lihatlah,
demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk
hidup, apabila orang-orang tidak datang kepada saya, dan para pendukung
tidak mengajukan hujah, dan apabila tak ada perjanjian Allah dengan
ulama bahwa mereka tak boleh berdiam diri dalam keserakahan si penindas
dan laparnya orang tertindas, maka saya akan sudah melemparkan
kekhalifahan dari bahu saya, dan memberikan orang yang terakhir
perlakuan yang sama seperti orang yang pertama. Maka Anda akan melihat
bahwa dalam pandangan saya dunia Anda ini tidak lebih baik dari bersin
seekor kambing.

Dikatakan bahwa ketika Arnirul Mukminin sampai di sini dalam khotbahnya,
seorang lelaki dari 'Iraq berdiri dan menyerahkan kepadanya suatu
tulisan. Amirul Mukminin melihat (tulisan) itu, dan ketika itu juga Ibn
'Abbas --semoga Allah meridai keduanya-- berkata, "Ya Amirul Muk­minin,
saya harap Anda lanjutkan khotbah Anda dari mana Anda telah memutuskannya."

Atasnya ia menjawab,

"Wahai Ibn 'Abbas, hal itu seperti uap dengusan seekor unta yang
menyembur keluar tetapi (kemudian) mereda."

Ibn 'Abbas berkata bahwa ia tak pernah menyedihkan suatu ucapan
sebagaimana atas yang satu ini, karena Amirul Mukminin a.s. tak dapat
mengakhirinya sebagaimana diinginkannya.

*Sayid Radhi mencatat: *Kata-kata dalam khotbah, "seperti penunggang
unta" bermaksud menyampaikan bahwa bilamana seorang penunggang unta
menarik kendali dengan kaku maka dengan sentakan itu lobang hidungnya
akan memar, tetapi apabila ia melonggarkannya padahal unta itu liar,
maka unta itu akan melemparkannya di suatu tempat dan akan lepas
kendali. Asynaq an-n?qah digunakan bilamana si penunggang menarik kekang
dan meninggikan kepala unta. Dalam pengertian yang sama digunakan juga
kata syanaqa an-n?qah. Ibnu Sikkit telah menyebutkannya dalam Isl?hul
Manthiq. Amirul Mukminin telah mengatakan asynaqa lah? sebagai ganti
asynaqaha, karena ia menggunakannya seirama dengan aslasa lah? dan
keselarasan hanya dapat dipertahankan dengan mengunakan keduanya dalam
bentuknya yang sama. Jadi, Amirul Mukminin menggunakan asynaqa lah?
seakan-akan sebagai ganti in rafa'a lah? ra'sah?, yakni "apabila ia
menghentikannya dengan menarik kekang".•

------------------------------------------------------------------------

[i] <#_ednref1> Khotbah ini terkenal sebagai Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah
dan dipandang sebagai salah satu khotbah Amirul Mukminin yang paling
masyhur. Khotbah ini disampaikan di Ar-Rahbah (suatu bagian dari Kufah).
Sebagian orang menyangkalnya sebagai ucapan Amirul Mukminin, dan
mengatakan bahwa itu dibuat-buat oleh Sayid Radhi (Syarif Radhi) namun
para ulama pencinta kebenaran telah menyanggah sangkalan itu. Tidak ada
pula dasar untuk penyangkalan itu. Perbedaan pandangan Ali a.s. dalam
hal kekhalifahan bukanlah rahasia, sehingga singgungan-singgungan
semacam itu tak dapat dipandang sebagai sesuatu yang asing. Dan,
peristiwa yang telah disinggung dalam khotbah ini terpelihara dalam
catatan-catatan sejarah yang membenarkannya, kata demi kata dan kalimat
demi kalimat. Apabila peristiwa-peristiwa yang sama yang bertaian dengan
sejarah dikatakan kembali oleh Amirul Mukminin maka manakah alasan untuk
menyangkalinya? Apabila ingatan akan keadaan-keadaan yang tak
menyenangkan segera setelah wafatnya Nabi nampak tak terlupakan baginya,
tidaklah hal itu harus mengejutkan. Tiada ragu, khotbah ini mengenai
prestise tokoh-tokoh tertentu dan mengurangi keyakinan dan kepercayaan
kepada mereka. Tetapi, kepercayaan itu tak dapat dipulihkan dengan
menolak khotbah ini sebagai ucapan Amirul Mukminin, kecuali apabila
peristiwa-peristiwa yang sebenarnya dianalisa dan kebenarannya
diungkapkan. Apabila tidak demikian, sekadar menolaknya sebagai ucapan
Amirul Mukminin karena mengandung peremehan terhadap individu-individu
tertentu, tidaklah berbobot, padahal kritik yang sama telah diriwayatkan
oleh sejarawan lain pula. Maka, (Abu 'Utsman) 'Amr Ibnu Bahr Al-J?hizh
telah mencatat kata-kata berikut ini dari suatu khotbah Amirul Mukminin,
dan kata-kata itu tidak kurang bobotnya daripada kritik dalam Khotbah
Asy-Syiqsyiqiyyah.

Yang dua ini meninggal dan yang ketiga bangkit seperti gagak yang
keberaniannya terbatas pada perut. Akan lebih baik apabila kedua
sayapnya terputus dan kepalanya terlepas.

Alhasil, gagasan bahwa khotbah itu buatan Sayid Radhi adalah jauh dari
kebenaran, dan hanya merupakan hasil partisan dan sikap memihak.
Sekiranya tuduhan itu merupakan hasil suatu penelitian, haruslah
dikernukakan. Bila tidak demikian maka bersikeras pada ilusi penuh
hasrat semacam itu tidak mengubah kebenaran, tidak pula kekuatan
argumen-argumen yang menentukan akan terpupuskan hanya dengan tidak
setuju dan tak senang.

Sekarang, marilah kita lihat kesaksian dari para ulama dan ahli
periwayatan yang dengan tegas memandangnya sebagai asli dari Amirul
Mukminin, supaya pentingnya secara historis diketahui. Di antara para
ulama ini, sebagian hidup sebelum masa Sayid Radhi, sebagian semasa
dengannya, dan sebagian sesudah-nya, tetapi mereka semua meriwayatkan
melalui isnad mereka sendiri-sendiri.

(1) Ibnu Abil Hadid menuliskan bahwa gurunya Abul Khair Mushaddiq Ibnu
Syabib al-Wasiti (m. 605 H.) menyatakan bahwa ia mendengar khotbah ini
dari Syeikh Abu Muhammad 'Abdullah Ibnu Ahmad Al-Baghdadi (m. 567 H.)
yang dikenal sebagai Ibnu Al-Khasysyab, dan ketika ia sampai di mana
Ibnu 'Abbas menyampaikan kesedihannya karena khotbah ini tertinggal tak
lengkap, Ibnu
Khasysyab mengatakan kepadanya bahwa apabila ia mendengar keluhan sedih
Ibnu 'Abbas itu, pastilah ia sudah  menanyakan kepadanya apakah ada yang
tertinggal pada saudara misannya itu suatu keinginan lain yang tak
dipuaskan, karena, kecuali Nabi, ia tidak mengecualikan para
pendahulunya maupun para penyusulnya, dan telah mengucapkan semua yang
hendak diucapkannya.
Maka, mengapa harus ada kesedihan bahwa ia tak dapat mengatakan apa yang
diinginkannya? Mushaddiq mengatakan bahwa Ibnu Khasysyab adalah orang
yang berhati ceria dan sopan santun. Ketika saya bertanya kepadanya
apakah ia juga memandang khotbah itu sebagai buat-buatan, ia menjawab,
"Demi Allah, saya percaya itu kata-kata Amirul Mukminin, sebagaimana
saya percaya bahwa Anda adalah Mushaddiq Ibnu Syabib." Ketika saya
katakan bahwa
sebagian orang menganggapnya buatan Sayid Radhi, ia menjawab, "Bagaimana
mungkin Radhi dapat mempunyai keberanian demikian atau gaya penulisan
seperti itu. Saya telah melihat tulisan-tulisan Radhi dan mengetahui
gaya penulisannya. Di mana-mana tiada tulisannya menyerupai yang satu
ini. Dan saya telah melihatnya pada buku-buku yang ditulis ratusan tahun
sebelum lahirnya Sayid Radhi; dan saya telah melihatnya dalam
tulisan-tulisan yang
terkenal yang saya tahu ulama dan ahli sastra mana yang mengutip
tulisan-tulisan itu. Pada masa itu, bukan saja Radhi, tetapi bahkan
ayahnya, Abu Ahmad An-Naqib, belum lahir."

(2) Setelah itu, Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ia melihat khotbah ini
dalam kompilasi-kompilasi gurunya Abul Qasim ('Abdullah Ibnu Ahmad)
al-Balkhi (m. 317 H.). la pemimpin kaum Mu'tazilah dalam masa
pemerintahan Muqtadir Billah, sedang masa Muqtadir jauh sebelum lahirnya
Sayid Radhi.

(3) la selanjutnya menulis bahwa ia melihat khotbah ini dalam buku
Insh?f karya Ibnu Qibah (Abu Ja'far Muhammad Ibnu 'Abdur-Rahman). la
murid Abul Qa sim al-Balkhi dan ulama mazhab Syi'ah Imamiah. (Syarh Ibnu
Abil Hadid, I, h. 205-206).

(4) Ibnu Maltsam Al-Bahrani (m. 679 H.) menulis dalam syarahnya bahwa ia
telah melihat satu salinan khotbah itu yang telah ditulis oleh menteri
Muqtadir Billah, Abul Hasan Ali Ibnu Muhammad Ibnu Al-Furat (m. 312 H.)
(Syarh al-Bal?ghah, I, h. 252-253).

(5) Allamah Muhammad Baqir al-Majlisi telah meriwayatkan isnad berikut
tentang khotbah ini dari kompilasi Syeikh Qutbuddin ar-Rawandi, Minh?jul
Bar? 'ah f? Syarh Nahjul Bal?ghah:

"Syeikh Abu Nashr al-Hasan Ibnu Muahammad Ibnu Ibrahim menyampaikan
kepada saya dari al-Hajib Abul Wafa' Muhammad Ibnu Badi', al-Husain Ibnu
Ahmad Ibnu Badi' dan al-Husain Ibnu al-Husain Ibnu Ahmad Ibnu
'Abdur-Rahman, dan mereka (mendengar) dari al-Hafizh Abu Bakr (Ahmad
Ibnu Musa) Ibnu Mardawaih al-Ishbahani (m. 426 H.) dan dia dari
al-Hafizh Abul Qasim Sulaiman Ibnu Ahmad ath-Thabarani (m. 360 H.) dan
dia dari Ahmad Ibnu Ali al-Abbar dan dia dari Ishaq Ibnu Sa'id Abu
Salamah ad-Dimasyqi dan dia dari Khulaid Ibnu Da'laj dan dia dari Atha’
Ibnu Abi Rabah dan dia dari Ibnu 'Abbas." (Biharul Anw?r, edisi pertama,
jilid VIII, h. 160-161).

(6) Dalam konteks itu Allamah al-Majlisi menulis bahwa khotbah ini juga
termuat dalam kompilasi Abu Ali (Muhammad Ibnu 'Abdul Wahhab) al-Jubba'i
(m. 303 H.).

(7) Dalam hubungan dengan otentiknya khotbah ini sendiri, Allamah
al-Majlisi menulis:

"Qadhi 'Abdul Jabbar Ibnu Ahmad al-Asadabadi (415 H.), seorang
Mu'tazilah yang tegar, menerangkan beberapa ungkapan dari khotbah ini
dalam buku Al-Mughni dan berusaha membuktikan bahwa khotbah itu tidak
menyerang para khalifah mana pun sebelumnya, tetapi tidak menolak bahwa
itu komposisi Amirul Mukminin." (Ibid., h. 161).

(8) Abu Ja'far Muhammad Ibnu Ali, Ibnu Babawaih (m. 381 H.) menulis:

"Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Ishaq ath-Thalaqani mengatakan kepada kami
bahwa 'Abdul 'Aziz Ibnu Yahya al-Jaludi (m. 332 H.) mengatakan kepadanya
bahwa Abu 'Abdullah Ahmad Ibnu 'Ammar Ibnu Khalid mengata­kan kepadanya
bahwa Yahya Ibnu 'Abdul Hamid al-Himmani (m. 228 H.) mengatakan
kepadanya bahwa 'Isa Ibnu Rasyid meriwayatkan khotbah ini dari Ali Ibnu
Hudzaifah, dan dia dari 'Ikrimah dan dia dari Ibnu 'Abbas." (Ilal
asy-Syar?'i, bab XXII, h. 360-361).

(9) Kemudian Ibnu Babawaih mencatat rangkaian isnad berikut:

"Muhammad Ibnu Ali Majilawaih meriwayatkan khotbah ini kepada kami, dan
ia mengambilnya dari pamannya Muhammad Ibnu Abil Qasim, dia dari Ahmad
Ibnu Abi 'Abdillah (Muhammad Ibnu Khalid) al-Barqi dan dia dari ayahnya
dan dia dari Muhammad Ibnu Abi 'UMalr dan dia dari Aban Ibnu 'Utsman dan
dia dari Aban Ibnu Taghlib dan dia dari 'Ikrimah dan dia dari Ibnu
'Abbas. ('Ial asy-Syar?'i', I, bab 122, h. 146; Ma'am al-Akhbar, bab 22,
h. 361).

(10)  Abu Ahmad al-Hasan Ibnu 'Abdillah Ibnu Sa'id al-'Askari (m. 382
H.), yangtergolong ulama besar Sunni, telah menulis syarah dan
penjelasan tentang khotbah ini, yang telah dicatat oleh Ibnu Babawaih
dalam. 'Ial asy-Syard'i dan Ma 'dni al-Akhb?r.

(11)  Sayid Ni'matullah al-Jaza'iri menulis:

"Penulis Kitdb al-Ghardt, Abu Ishaq, Ibrahim Ibnu Muhammad ats-Tsaqafi
al-Kufi (m. 283 H.) telah meriwayatkan khotbah ini melalui rangkaian
sanad-nya sendiri. Tanggal selesainya menulis buku ini hari Selasa, 13
Syawal 255 H. dan pada tahun itu juga Murtadha al-Musawi lahir. la lebih
tua dari saudaranya Sayid RadhT." (Anwar an-Nu 'm?niyyah, h. 37).

(12)  Sayid Radhiuddin Abul Qasim Ali Ibnu Musa, Ibnu Thawus al-Husaini
al-Hilli (m. 664 H.) telah meriwayatkan khotbah ini dari Kitab al-Gh?r?t
dengan rangkaian sanad berikut:

"Khotbah ini diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad Ibnu Yusuf, yang
meriwayatkan dari Hasan Ibnu Ali Ibnu 'Abdul Karim az-Za'farani, dan ia
(meriwayatkan) dari Muhammad Ibnu Zakariyya al-Ghallabi, dan dia dari
Ya'qub Ibnu Ja'far Ibnu Sulaiman, dan dia dari ayahnya, dan dia dari
kakek-nya, dan dia dari Ibnu 'Abbas." (terjemahan Ath-Thara'if, h. 202)

(13) Syeikh ath-Tha'ifah, Muhammad Ibnu al-Hasan ath-Thusi (m. 460 H.) me­
nulis:

"(Abul Path Hilal Ibnu Muhammad Ibnu Ja'far) al-Haffar meriwayatkan
khot­bah ini kepada kami. la meriwayatkan dari Abdul Qasim (Isma'il Ibnu
Ali Ibnu Ali) ad-Di'bili, dan dia dari ayahnya, dan dia dari saudaranya
Di'bil (Ibnu Ali al-Kuza'i), dan dia dari Muhammad Ibnu Salamah
asy-Syami, dan dia dari Zurarah Ibnu A'yan dan dia dari Abu Ja'far
Muhammad Ibnu Ali (asy-Syeikh ash-Shaduq), dan dia dari Ibnu 'Abbas."
(Al-Amali, h. 137)

(13)  Syeikh Mufid (Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu an-Nu'man, m. 413 H.),
guru Sayid Radhi, menulis tentang rangkaian sanad khotbah ini:

"Sejumlah periwayat hadis telah meriwayatkan khotbah ini dari Ibnu
'Abbas melalui berbagai isnad." (Al-Irsy?d, h. 135)

(15)  'Alam al-Huda (lambang petunjuk) Sayid Murtadha, kakak Sayid
Radhi, telah mencatatnya pada h. 203-204 bukunya Asy-Sydfi.

(16)  Abu Manshur ath-Thabarsi menulis:

"Sejumlah perawi telah meriwayatkan tentang khotbah ini dari Ibnu 'Abbas
melalui berbagai sanad. Ibnu 'Abbas mengatakan bahwa ia bersama Amirul
Mukminin di ar-Rahbah; ketika percakapan beralih kepada kekhalifahan dan
mereka yang telah mendahuluinya sebagai Khalifah, Amirul Mukminin
menghembuskan nafas keluhan dan menyampaikan khotbah ini." (Al-Ihtijaj)

(17)  Abu al-Muzhaffar Yusuf Ibnu 'Abdillah dan Sibth Ibnu Jauzi
al-Hanafi (m. 654 H.) menulis:

"Syeikh kita Qasim an-Nafts al-Anbari meriwayatkan khotbah ini kepada
kami melalui rangkaian sanadnya yang berakhir pada Ibnu 'Abbas, yang
mengatakan bahwa setelah dilakukan pembaiatan kepada Amirul Muk­minin
sebagai khalifah, ia sedang duduk di mimbar ketika seorang laki-laki
dari hadirin bertanya mengapa ia berdiam diri ketika itu, lalu Amirul
Mukminin serta merta mengucapkan khotbah ini." (Tadzkirat Khawashsh
al-Ummah, h. 73)

(18) Qadhi Ahmad Ibnu Muhammad, asy-Syihab al-Khafaji (m. 1069 H.)
menulis setalian dengan keasliannya:

"Dinyatakan dalam ucapan-ucapan Amirul Mukminin Ali (ra), 'Aneh, selama
hayatnya ia (Abu Bakar) hendak melepaskan kekhalifahannya, tetapi ia
memperkuat fondasinya untuk orang lain setelah matinya.'" (Syarh Durrat
al-Ghawwash, h. 17)

(19) Syeikh 'Ala ad-Daulah as-Simnani menulis:

"Amirul Mukminin SayyidAl-'Arifin Ali a.s. telah menyatakan dalam satu
khotbahnya yang cemerlang, "Ini syiqsyiqah yang menyembur keluar".
(al-'Urwah li Ahl al-Khalwah wa al-Jalwah, h. 3, naskah di Perpustakaan
Nasiriah, Lucknow, India)

(20) Abul Fadhl Ahmad Ibnu Muhammad al-Maldant (m. 518 H.) menulis
sehubungan dengan kata syiqsyiqah:

"Satu khotbah Amirul Mukminin terkenal sebagai Khotbah
asy-Syiqsyt-qiyyah (khotbah busa unta)." (Majma' al-Amts?l, jilid I, h. 369)

(21) Pada lima belas tempat dalam An-Nihayah, sementara menerangkan
kata-kata dari khotbah ini, Abu as-Sa'adat Mubarak Ibnu Muhammad, Ibnu
al-Atsir al-Jazari (m. 606 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan Amirul
Mukminin.

(22) Syeikh Muhammad Thahir Patnt, ketika menerangkan kata-kata itu
dalam Majma' al-Bihar al-Anwar, membenarkan khotbah ini dari Amirul
Muk­minin dengan kata-kata, "Ali mengatakan demikian."

(23) Abul Fadhl Ibnu Manzur (m. 711 H.) telah mengakuinya sebagai ucapan
Amirul Mukminin, dalam Lisan al-'Arab, jilid XII, h. 54, dengan
mengata­kan, "Itu adalah busa unta yang mencetus, kemudian mereda."

(24) Majduddln al-Firuzabadt (m. 816/7 H.) telah mencatat kata
syiqsyiqah dalam kamusnya (Al-Qdmus, III, h. 251):

"Khotbah asy-Syiqsytqiyyah Ali dinamakan demikian karena ketika Ibnu
'Abbas meminta kepadanya untuk meneruskannya di mana ia telah
me-ninggalkannya, ia berkata, "Wahai, Ibnu 'Abbas! Itu busa unta
*(syiqsyiqah) *yang mencetus keluar lalu mereda."

(25)  Penyusun Muntahd al-Adab menuliskan:

"Khotbah Asy-Syiqsyiqiyyah Ali diatributkan pada Ali (karramallahu
wajhahu)."

(26) Syeikh Muhammad 'Abduh, Mufti Mesir, mengakuinya sebagai ucapan
Amirul Mukminin; ia telah menulis keterangannya dalam bukunya Syarh
Nahjul Baldghah.

(27) Muhammad Muhyiddm 'Abdul Hamid, guru besar pada Fakultas Bahasa
Arab, Universitas al-Azhar, telah menulis anotasi tentang Nahjul
Baldghah dengan membubuhkan prakata, di mana ia mengakui semua khotbah
yang mengandung pernyataan-pernyataan menyinggung semacam itu sebagai
ucapan Amirul Mukminin.

Di hadapan semua penyaksian dan semua bukti yang tak tersangkal ini,
tidak ada tempat untuk menganggap bahwa khotbah itu bukan dari Amirul
Mukminin dan bahwa itu buatan Sayid Radhi sendiri.

[ii] <#_ednref2> Amirul Mukminin mengacu pengangkatan Abu Bakar menjadi
khalifah, sebagai berbusana dengan itu. Ini kiasan biasa. Maka, ketika
'Utsman diminta untuk menyerahkan kekhalifahan, ia menjawab, "Saya tidak
akan menanggalkan busana yang telah dipakaikan Allah kepadaku ini."
Tiada ragu bahwa Amirul Mukminin tidak mengatributkan "baju
kekhalifahan" ini kepada Allah, melainkan kepada Abu Bakar sendiri,
karena menurut pandangan ijmak, kekhalifahannya bukanlah dari Allah
melainkan urusannya sendiri. Itulah sebabnya Amirul Muk­minin mengatakan
bahwa Abu Bakar membusanai dirinya sendiri dengan kekhalifahan. la
mengetahui bahwa busana ini telah dijahit untuk badannya sendiri, sedang
kedudukannya sendiri sehubungan dengan kekhalifahan adalah kedudukan
poros pada penggiling yang dapat mempertahankan posisi pusatnya dan tak
ada gunanya tanpa itu. Seperti itu pula, ia berpendapat, "Saya adalah
sumbu pusat kekhalifahan; bila saya tidak di sana, seluruh sistemnya
akan tersesat dari pusat­nya. Sayalah yang bertindak sebagai pengawal
bagi organisasi dan ketertibannya, dan mengawalnya melewati berbagai
kesulitan. Arus pengetahuan mengalir dari dada saya dan mengairinya pada
semua sisi. Kedudukan saya tinggi di atas ima-jinasi, tetapi pencari
keserakahan duniawi untuk pemerintahan menjadi batu sandungan bagi saya,
dan saya harus mengurung diri dalam keterasingan. Kegelapan yang
membutakan merajalela di mana-mana, gelap pekat di mana-mana. Yang muda
menjadi tua dan yang tua berpisah ke kuburan, tetapi masa menanggung
sabar ini tak mau berakhir. Saya terus melihat dengan mata saya
penjarahan atas warisan saya dan melihat berlalunya kekhalifahan dari
satu tangan ke tangan lain, tetapi saya tetap bersabar, karena tak dapat
menghentikan kesewenang-wenangan mereka tanpa sarana."


  Perlunya Khalifah dan Cara Pengangkatannya

Setelah Nabi Muhammad (saw) wafat, dibutuhkan adanya pribadi yang mampu
mencegah perpecahan umat dan mengawal hukum Islam dari perubahan,
pengubahan dan penyelewengan oleh orang-orang yang hendak memenuhi hawa
nafsunya. Bila kebutuhan mendesak ini disangkal maka mengapa suksesi
Nabi dianggap begitu penting sehingga pertemuan di Saqifah Bani Sa'idah
dipandang lebih utama daripada penguburan Nabi? Bila kebutuhan ini
diakui, maka timbul pertanyaan apakah Nabi juga menyadarinya atau tidak.
Bila kita anggap beliau tidak menyadarinya dan tidak dapat menilai ada
atau tiadanya kebutuhan tersebut, maka hal ini akan merupakan bukti yang
sangat kuat untuk menganggap bahwa Nabi tidak memikirkan cara menyetop
kejahatan-kejahatan bidah dan hojatan; padahal beliau telah memberikan
peringatan-peringatan tentang masaalah ini.

Apabila dikatakan bahwa beliau menyadari kebutuhan akan adanya pribadi
tersebut tetapi tidak membereskannya, karena melihat adanya manfaat
dengan membiarkannya, maka beliau tidak akan mendiamkannya tanpa
menunjukkan manfaat itu dengan jelas; apabila tidak demikian maka
mendiamkan masalah tersebut tanpa tujuan merupakan pelanggaran dalam
pelaksanaan tugas Kenabian. Apabila ada halangan, haruslah pula
diungkapkan. Karena Nabi tidak meninggalkan masalah agama dalam keadaan
tidak sempurna maka beliau tidak akan membiarkan masalah ini
terbengkalai, melainkan akan mengajukan jalan pemecahan untuk
mengamankan agama dari campur tangan orang lain.

Masalahnya sekarang, bagaimana seharusnya pengambilan keputusan pada
masa awal tersebut dan apa yang akan dilakukan. Bila keputusan itu
berdasarkan konsensus umat maka hal itu tidak mungkin terjadi, karena
pada konsensus semacam itu diperlukan adanya persetujuan tiap individu;
tetapi mengingat perbedaan temperamen manusia, maka mustahil mereka akan
sepakat. Tak ada contoh di masa itu di mana keputusan dapat diambil
dengan mufakat tanpa satu pun yang menolak. Maka bagaimana mungkin
kebutuhan mendasar semacam itu digantungkan pada terjadinya peristiwa
yang mustahil seperti itu, sedangkan kebutuhan itu menyangkut masa depan
Islam dan kemaslahatan umat. Oleh karena itu maka akal sehat tidak dapat
menerima tolok ukur ini. Tidak ada pula sunah yang selaras dengannya
sebagaimana ditulis oleh Qadhi 'AdhuddTn al-'Ijlt dalam Syarh al-Maw?qif:

"Anda seharusnya tahu bahwa kekhalifahan tidak dapat bergantung pada
ijmak pemilihan, karena tidak ada argumen yang logis atau sunah yang
dapat dijadikan sandaran."

Kenyataannya, tatkala para pembela pemilihan dalam pelaksanaannya sukar
mencapai aklamasi, mereka lalu menempuh persetujuan mayoritas dengan
mengabaikan minoritas.

Dalam hal semacam ini sering juga terjadi kekuatan jujur ataupun palsu,
cara benar atau tidak, mengubah arus pendapat mayoritas dan mengabaikan
keutamaan individu dan kebajikan pribadi. Akibatnya, orang yang mampu
dan jujur ter-sembunyi, dan yang tidak kompeten maju ke depan. Bila
orang berkemampuan tersisih, terhalang oleh ambisi-ambisi pribadi, lalu
bagaimana mengharapkan adanya pemilihan orang yang tepat? Sekalipun,
misalnya, semua pemberi suara punya kebebasan dan tidak memihak,
lidaklah mesti keputusan mayoritas harus benar dan tak tersesat.
Pengalaman menunjukkan bahwa setelah keputusan dijalankan, mayoritas
lalu berpendapat bahwa keputusannya sendiri ternyata salah. Bila setiap
keputusan mayoritas benar, maka keputusannya yang pertama adalah salah,
karena keputusan yang menganggapnya salah adalah juga dari mayoritas.

Tentang pendapat bahwa untuk menghindari kekacauan maka tokoh-tokoh umat
dibiarkan memilih siapa saja yang mereka sukai, di sini pun pergesekan
dan pertengkaran akan merajalela. Karena, di sini juga pemusatan watak
manusia untuk satu persetujuan tidaklah mesti, dan tidak dapat juga
dikatakan bahwa mereka dapat mengatasi tujuan-tujuan pribadi mereka.
Dalam kenyataannya di sini konflik dan benturan akan lebih kuat. Karena,
kalau tidak semua, sekurang-kurangnya kebanyakan dari mereka ingin
menjadi calon dan akan berusaha dengan segala daya untuk mengalahkan
lawannya, dan membuka jalan yang sebaik-baiknya untuk dirinya. Akibat
yang tidak dapat dihindarkan ialah pergumulan dan pergolakan.

Kesimpulannya, tidak mungkin menyingkirkan bencana dengan cara ini, dan
ketimbang menemukan tokoh yang tepat, umat hanya akan jadi alat untuk
me-menuhi ambisi pribadi orang lain. Lagi pula, bagaimana seharusnya
tolok ukur orang yang akan memegang tampuk kekuasaan ini? Sebagaimana
biasa, siapa saja yang dapat mengumpul beberapa pendukung dan mampu
membuat geger dan ribut-ribut dalam suatu pertemuan dengan menggunakan
kata-kata keras maka dialah yang dianggap paling tepat sebagai penguasa.
Ataukah kemampuan seseorang juga akan dinilai? Bila penilaian kemampuan
seseorang ditentukan juga dengan cara pemilihan umum seperti ini, maka
kerumitan dan kekacauan serupa akan muncul. Bila ada patokan lain, maka
sebagai ganti menilai para pemberi suara seperti itu, mengapa tidak
menilai orang yang dipandang pantas untuk kedudukan itu? Selanjutnya
berapa banyak tokoh yang dianggap cukup untuk mengambil keputusan? Jelas
bahwa sekali patokan ini diambil maka hal ini akan jadi preseden,
teladan dan contoh di masa mendatang, dan jumlah orang yang berwenang
mengambil keputusan akan jadi patokan juga di masa depan. Qadhi
al-'Ajali menulis:

"Malah satu atau dua orang telah cukup menentukan terpilihnya pemimpin,
karena kita tahu bahwa para ulama yang tegas dalam agama menganggap
cukup pengangkatan Abu Bakar oleh 'Umar dan pengangkatan 'Utsman oleh
'Abdur-Rahman." (Syarh al-Mawaqif, h. 351)

Beginilah riwayat "Pemilihan secara mufakat" di Saqifah Bani Sa'idah dan
kegiatan Syura dalam pemilihan 'Utsman: tindakan satu orang telah diberi
nama "pemilihan secara mufakat", dan perbuatan satu orang dinamakan
majelis syura. Abu Bakar telah memahami kenyataan bahwa pemilihan
berarti hanya satu atau dua suara yang akan diatributkan pada rakyat
umum yang sederhana. Itulah sebabnya ia mengabaikan tuntutan dengan
suara bulat, suara mayoritas atau metode pemilihan melalui majelis yang
dipilih, dan ia sendiri mengangkat 'Umar. 'A'isyah pun memandang bahwa
membiarkan masalah kekhalifahan pada suara beberapa individu berarti
mengundang kekacauan dan kesulitan. la mengirimkan pesan kepada 'Umar
menjelang matinya:

"Jangan biarkan umat Islam tanpa pemimpin. Angkatlah seorang khalifah
untuk itu dan jangan Anda tinggalkan umat tanpa pewenang, karena apabila
tidak demikian saya melihat kekacauan dan kesulitan."

Ketika pemilihan oleh orang yang berwenang terbukti gagal, hal itu
ditinggalkan, dan hanya "kekuatan adalah kebenaran" yang menjadi
ukurannya—yakni siapa saja yang menundukkan dan menguasai orang lain,
diterima sebagai khalifah Nabi dan pelanjutnya yang sebenarnya. Ini
prinsip buatan sendiri, padahal ada serangkaian hadis Nabi yang
disampaikan pada "Pertemuan 'Asyirah", pada ma-lam Hijrah, pada Perang
Tabuk, pada kesempatan menyampaikan surah al-Bara'ah (at-Taubah) dan di
Ghadlr Khum. Yang aneh, setiap orang dari khalifah itu di-dasarkan pada
pilihan individu, sementara pilihan Nabi sendiri ditolak! Padahal,
penunjukan oleh Nabi adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri
perselisihan, yakni bahwa Nabi sendiri yang semestinya menyelesaikan dan
menyelamatkan umat dari kekacauan-kekacauan di masa depan dan
menghindarkan pengambilan keputusan di tangan orang-orang yang terlibat
dalam tujuan dan maksud-maksud pribadi. Ini prosedur yang tepat yang
sesuai dengan nalar dan juga mendapat dukungan hadis-hadis Nabi yang tegas.

[iii] <#_ednref3> Hayyan Ibnu Samin al-Hanafi al-Yamamah adalah kepala
suku Bani Hanifah dan penguasa benteng dan tentara. Jabir adalah nama
adiknya, sedang A'sya, yang nama sesungguhnya Malmun Ibnu Qais Ibnu
Jandal, adalah sahabat karib dan hidup pantas dan bahagia atas
kemurahannya. Dalam bait syair ini ia membandingkan kehidupannya
sekarang ini dengan yang sebelumnya, yakni masa ketika ia berkelana
mencari nafkah, dengan masa hidup berbahagia bersama Hayyan. Pada
umumnya dianggap bahwa Amirul Mukminin mengutip bait ini untuk
mem­bandingkan masanya yang kesusahan dengan masa-masa daMal yang
dilaluinya dalam asuhan dan perlindungan Nabi, ketika ia bebas dari
segala kerisauan dan menikmati kedaMalan mental. Tetapi, mengingat
peristiwa ia membuat perbandingan ini, serta pokok bait syair itu,
bukanlah penjelasan yang dicari-cari apabila itu dianggap menunjukkan
perbedaan antara kedudukan yang tak penting dari orang-orang yang
sekarang sedang berkuasa, di masa kehidupan Nabi, dan wewenang dan
kekuasaan mereka sesudahnya; yakni, pada masa Nabi tiada perhatian
diberikan kepada mereka, karena kepribadian Ali; tetapi, sekarang waktu
telah berubah demikian rupa sehingga orang-orang itu menjadi penguasa
dunia Islam.

[iv] <#_ednref4> Ketika 'Umar terluka oleh Abu Lu'lu'ah dan ia melihat
bahwa sulit baginya untuk hidup lebih lama lagi, karena luka yang parah
itu, ia membentuk suatu komite musyawarah (Syura) dan menunjuk Ali Ibnu
Abt Thalib, 'Utsman Ibnu 'Affan, 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf, Zubair Ibnu
'Awwam, Sa'id Ibnu Abi Waqqash dan Talhah Ibnu 'Ubaidillah, seraya
mengikat mereka dengan ketentuan bahwa setelah tiga hari sesudah
kematiannya, mereka harus memilih salah seorang di antara mereka sendiri
sebagai khalifah, sementara untuk tiga hari itu Shuhaib akan bertindak
sebagai khalifah sementara.

Ketika menerima instruksi ini, beberapa orang bertanya kepadanya
bagaimana pikirannya tentang setiap orang dari mereka itu, untuk
memungkinkan mereka berlaku sesuai dengan sorotannya. Karenanya, 'Umar
mengungkapkan pandangannya sendiri tentang setiap individu itu. Ia
mengatakan bahwa Sa'd bertempramen kasar dan berkepala panas;
'Abdurrahman adalah Fir'aunnya umat; Zubair, apabila disenangkan, adalah
seorang mukmin yang sebenarnya, tetapi apabila tidak disenangkan adalah
seorang kafir; Thalhah adalah pengejawantahan kebanggaan dan
kesombongan, yang apabila dijadikan khalifah ia akan memasang cincin
kekhalifahan di jari istrinya, sedang 'Utsman tidak melihat melampaui
keluarga-nya. Mengenai Ali, ia terpikat kekhalifahan, walalupun saya
tahu hanya ia sendiri yang dapat melaksanakannya pada garis yang benar.

Walaupun demikian pengakuannya, ia menganggap perlu untuk membentuk
Syura itu, dan dalam memilih para anggotanya dan meletakkan prosedur
kerjanya, ia meyakinkan bahwa kekhalifahan akan mengarah ke mana ia
menginginkannya. Maka, seorang yang berkebijaksanaan biasa dapat
mengambil kesimpulan bahwa semua faktor keberhasilan 'Utsman terdapat di
dalamnya.

Apabila kita perhatikan para anggotanya, kita lihat bahwa, pertama,
'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf adalah suami saudara perempuan 'Utsman;
berikutnya, Sa'd Ibnu AbT Waqqash, selain menaruh dengki terhadap Ali,
adalah teman dan keluarga 'Abdur-Rahman; keduanya tak dapat diharapkan
akan menentang 'Utsman.

Yang ketiga, Thalhah Ibnu 'Ubaidillah yang tentangnya Muhammad 'Abduh
menulis dalam anotasinya mengenai Nahjul Balaghah:

"Thalhah cenderung kapada 'Utsman, dan sebabnya adalah tak kurang dari
ia menentang Ali, karena ia sendiri seorang anggota suku Taim, dan
naiknya Abu Bakar pada kekhalifahan telah menciptakan perseteruan antara
Bani Taim dan Bani Hasyim."

Mengenai Zubair, sekiranyapun ia memilih Ali, apa gunanya satu suara
ini? Menurut pernyataan Thabari, Thalhah tidak hadir di Madinah pada
waktu itu, tetapi absennya tidak menghalangi keberhasilan 'Utsman.
Malah, sekiranyapun ia hadir, sebagaimana ia akhirnya datang ke Syura
itu, dan ia dianggap pendukung Ali, tetap tidak akan meragukan
keberhasilan 'Utsman, karena pikiran 'Umar yang cerdik telah menetapkan
prosedur bahwa:

"Apabila dua orang menyetujui yang satu, sedang yang dua orang lagi
me-nyetujui seorang lainnya, maka 'Abdullah Ibnu 'Umar akan bertindak
sebagai penengah. Kelompok yang diperintahkannya harus mamilih khalifah
di antara mereka sendiri. Apabila mereka tidak menerima keputusan
'Abdullah Ibnu 'Dinar, maka dukungan harus diberikan kepada kelompok di
mana termasuk 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf; tetapi, apabila yang lain-lainnya
tidak menyetujuinya maka mereka harus dipancung kepalanya karena
menentang ke­putusan ini." (Thabari, I, h. 2779-2780; Ibnu Atsir, III,
h. 67)

Di sini ketidaksepakatan dengan keputusan 'Abdullah Ibnu 'Umar tidak
berarti apa-apa, karena ia diarahkan untuk mendukung kelompok yang
meliputi 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf. la telah memerintahkan anaknya
'Abdullah, dan Shuhaib, bahwa:

"Apabila orang-orang itu berselisih, Anda harus memihak kepada
mayoritas; tetapi apabila ada tiga di antara mereka di satu sisi dan
tiga di sisi lainnya, Anda harus memihak pada kelompok di mana termasuk
'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf." (Thabari, jilid I, h. 2725, 2780; Ibnu AtsTr,
jilid II, h. 51, 67)

Dalam instruksi ini persetujuan mayoritas juga berarti mendukung
'Abdur-Rahman, sebab mayoritas tak mungkin memihak pada siapa pun
lainnya, karena lima puluh pedang haus darah telah disiapkan terhadap
kelompok lawan, dengan perintah untuk memancung kepala mereka atas
keputusan 'Abdur-Rahman. Mata Amirul Mukminin telah membaca pada saat
itu juga bahwa kekhalifahan akan berpindah kepada 'Utsman, sebagaimana
nampak pada kata-kata berikut ini, yang disampaikannya kepada 'Abbas
Ibnu 'Abdul Muththalib:

"Kekhalifahan telah disingkirkan dari kami." 'Abbas bertanya bagaimana
ia mengetahuinya. Lalu ia menjawab, '"Utsman juga telah disetarakan
dengan saya, dan telah diatur bahwa mayoritas harus didukung; tetapi,
apabila dua orang menyetujui yang satu, dan dua lagi menyetujui yang
lain, maka dukung­an harus diberikan kepada kelompok di mana termasuk
'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf. Nah, Sa'd akan mendukung saudara sepupunya
'Abdur-Rahman yang tentu saja adalah suami saudara perempuan 'Utsman."
(ibid)

Alhasil, setelah wafatnya 'Umar, pertemuan ini berlangsung di rumah
'A'isyah. Di pintunya berdiri Abu Thalhah al-Anshari dengan lima puluh
orang yang telah menghunus pedang di tangannya. Thalhah memulai acara,
dan seraya mengundang semua yang lain-lainnya untuk menyaksikan, ia
berkata bahwa ia memberikan hak pilihnya kepada 'Utsman. Ini menyinggung
harga diri Zubair karena ibunya Safiyyah putri 'Abdul Muthtalib adalah
saudara perempuan ayah Nabi. Maka ia memberikan hak suaranya kepada Ali.
Sesudah itu Sa'd Ibnu Abi Waqqash memberikan hak suaranya kepada
'Abdur-Rahman. Tinggal tiga anggota Syura yang belum memilih, di
antaranya 'Abdur-Rahman Ibnu 'Auf yang mengatakan ia mau melepaskan
haknya sendiri untuk dipilih apabila Ali a.s. dan 'Utsman memberikan hak
kepadanya untuk memilih seseorang di antara mereka, atau salah satu di
antara kedua orang ini harus mendapatkan hak memilih dengan jalan
menarik diri dari pencalonan. Ini perangkap di mana Ali telah dilibat
dari semua sisi, yakni ia harus meninggalkan haknya sendiri atau
mengizinkan 'Abdur-Rah­man bertindak semaunya. Yang pertama tak mungkin
baginya, yakni melepaskan haknya dan memilih 'Utsman atau 'Abdur-Rahman.
Maka, ia berpegang pada haknya, sementara 'Abdur-Rahman melepaskan diri
dari pencalonan itu lalu me-megang kekuasaan ini seraya berkata kepada
Amirul Mukminin, "Saya membaiat Anda dengan syarat Anda mengikuti Kitab
Allah, sunah Nabi dan perilaku kedua Syeikh (Abu Bakar dan 'Umar)." Ali
menjawab, "Akan mengikuti Kitab Allah, sunah Nabi dan pendapat saya."
Ketika ia memberikan jawaban yang sama seka-lipun pertanyaan itu telah
diulang tiga kali, 'Abdur-Rahman berpaling kepada 'Utsman seraya
berkata, "Apakah Anda menerima persyaratan ini?" 'Utsman tidak beralasan
untuk menolak; maka ia menyetujui persyaratan itu, dan baiat pun
dilakukan baginya. Ketika Amirul Mukminin melihat haknya terpijak-pijak
demikian, ia berkata:

"Ini bukan hari pertama Anda berlaku menentang kami. Saya hanya harus
bersabar. Allah adalah Penolong terhadap segala yang Anda katakan. Demi
Allah, Anda tidak membuat 'Utsman menjadi khalifah melainkan dengan
harapan bahwa ia akan mengembalikan kekhalifahan kepada Anda."

Setelah mencatat peristiwa Syura (komite musyawarah pengangkatan 'Utsman
itu), Ibnu Abil Hadid menulis bahwa ketika pembaiatan telah dilakukan
kepada 'Utsman, Ali menegur 'Utsman dan 'Abdur-Rahman dengan mengatakan,
"Semoga Allah menaburkan benih perselisihan di antara Anda," dan
demikian terjadinya sehingga keduanya bermusuhan sengit, dan
'Abdur-Rahman tak pernah lagi berbicara dengan 'Utsman hingga matinya.
Bahkan di ranjang kematiannya ia memalingkan muka ketika melihat 'Utsman.

Melihat peristiwa ini timbul pertanyaan, apakah Syura bermaksud
membatasi urusan kepada enam orang, kemudian kepada tiga orang, dan
akhirnya hanya pada satu orang saja? Juga, apakah syarat untuk mengikuti
perilaku kedua Syeikh untuk kekhalifahan ditetapkan oleh 'Umar, atau
hanya sekadar halangan yang diletakkan oleh 'Abdur-Rahman antara Ali
a.s. dan kekhalifahan; khalifah yang per­tama tidak meletakkan syarat
pada waktu mengangkat khalifah yang kedua, yakni bahwa ia harus
mengikuti langkah-langkah khalifah yang pertama. Maka, apakah alasan
untuk syarat itu di sini?

Namun, Amirul Mukminin telah menyetujui untuk turut serta dalam Syura
itu untuk menjauhkan bencana dan untuk menghentikan orang menggunakannya
sebagai dalih, sehingga orang-orang lain dibungkamkan dan tak akan dapat
meng-aku bahwa mereka sebenarnya akan memilih dia dan bahwa ia sendiri
meng-elakkan komite musyawarah itu dan tidak memberikan kesempatan
kepada mereka memilihnya.

[v] <#_ednref5> Tentang pemerintahan khalifah yang ketiga itu, Arnirul
Mukminin mengatakan bahwa scgera setelah ia berkuasa, Ban? Umayyah
mendapatkan lahan dan mulai menjarahi Baitul Mal (perbendaharaan
negara), dan seperti ternak melihat rumput hijau setelah musim kemarau,
dengan sembrono mereka mcnyerbu uang milik Allah lalu melahapnya.
Akhirnya keserakahan dan nepotisme ini membawa­nya ke tahap di mana
rakyat mengepung rumahnya, membunuhnya dan membuatnya memuntahkan semua
yang telah ditelannya.

Malakelola pemerintahan yang terjadi dalam masa ini sedemikian rupa
sehing­ga tiada seorang Muslim yang tak tergugah melihat para sahabat
berkcdudukan tinggi dibiarkan terlantar, dilanda kemiskinan dan dikepung
kemelaratan, sementara kekuasaan atas Baitul Mal berada di tangan Bani
Umayyah, jabatan pemerintahan diduduki orang-orang muda mereka yang tak
berpengalaman, hak-hak khusus kaum Muslim mereka kuasai, padang
penggembalaan hanya untuk ternak mereka, rumah-rumah dibangun hanya
untuk mereka, dan kebun-kebun hanya bagi mereka saja. Apabila ada
seseorang merasa belas kasihan kepada orang lain lalu berbicara tentang
pelanggaran batas-batas ini, ia diusir dari kota. Penggunaan zakat dan
sedekah yang dimaksudkan untuk fakir miskin, dan Baitul Mal yang
merupakan hak umum kaum Muslim, dapat dilihat pada gambaran berikut:

(1) Hakam Ibnu Abil 'Ash yang telah diusir oleh Nabi dari Madinah,
diizinkan kembali ke kota itu, bukan saja bertentangan dengan sunah Nabi
tetapi juga bertentangan dengan perilaku kedua khalifah sebelumnya; ia
bahkan diberi tiga ratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Ans?b al-Asyr?f,
V, h. 27, 28, 125)

(2) Walid Ibnu 'Uqbah yang telah dinaMal munafik dalam Qur'an, dibayari
seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (Al-'Iqd al-Farid, III, h. 94)

(3) Khalifah itu mengawinkan anak perempunnya Umm Aban dengan Marwan
Ibnu Hakam dan memberikan kepada Marwan seratus ribu dirham dari Baitul
Mal. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 194-199)

(4) la mengawinkan anaknya 'A'isyah dengan Harits Ibnu Hakam dan
mem­berikan kapada Harits seratus ribu dirham dari Baitul Mal. (ibid)

(5)  'Abdullah Ibnu Khalid diberi empat ratus ribu dirham. (Ibnu
Qutaibah, Al-Ma'?rif, h. 84)

(6) la memberikan hak atas khums (pajak keagamaan) dari Afrika, sejumlah
lima ratus ribu dinar, kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)

(6) Kebun Fadak yang tidak diserahkan kepada putri Rasulullah Fathimah
az-Zahra' berdasarkan alasan bahwa itu merupakan sedekah umum, diberikan
sebagai hadiah kepada Marwan Ibnu Hakam. (ibid)

(7) Mahzur, suatu tempat di area perdagangan Madinah, yang telah
dimaklumkan sebagai milik umum oleh Nabi, dihadiahkan kepada Hants Ibnu
Hakam. (ibid)

(8) Di padang-padang sekitar Madinah, lak ada unta selain milik Bani
Umayyah yang digembalakan. (Syarh Ibnu Abil Hadid, I, h. 199)

(10) Setelah meninggalnya ('Utsman), seratus lima puluh ribu dinar (mala
uang mas) dan satu juta dirham (mata uang perak) terdapat di rumahnya.
Tak ada batas tanah-tanah yang bebas pajak; dan nilai total harta
perkebunan yang dimilikinya di Wadi al-Qura dan Hunain adalah seratus
ribu dinar. Di sana terdapat unta dan kuda yang tak terhitung banyaknya.
(Muruj adz-Dzahab,I, h. 435)

(11) Famili-famili khalifah memerintah semua kota penting. Di Kuf'ah,
Walid Ibnu 'Uqbah adalah gubernurnya. Tetapi ketika dalam keadaan mabuk
anggur ia mengimami salat Subuh empat rakaat, bukannya dua, dan rakyat
menggugat, la pun dipindahkan. Tetapi, khalifah menggantikkannya dengan
seorang munafik, Sa'id bin al-'Ash. Di Mesir 'Abdullah Ibnu Sa'd Ibnu
AbT Sarh, di
Suriah Mu'awiah Ibnu Abi Sufyan, di Bashrah 'Abdullah Ibnu 'Amir.

No comments:

Post a Comment